Sebenernya tulisan ini terinspirasi dari Mas Yohan, Bala Tidar yang saya temui hari Sabtu kemaren.
Beberapa bulan yang lalu seorang tetangga pulang dari Umroh. Si tetangga bercerita mengenai rute yang ditempuh saat berangkat dengan pesawat Boeing 767-400 dengan bobot kosong pesawat sekitar 103.100 kg (http://www.boeing.com) adalah Yogyakarta-Jakarta -Jedah, sedangkan saat pulang adalah Jedah-Jakarta-Yogyakarta. Ada hal menarik dari rute penerbangan tersebut dimana setiap kali transit pesawat terbang harus mengisi bahan bakar karena habis.
Misal diasumsikan jarak Jakarta (Soekarno Hatta) sampai Yogyakarta (Adi Sutjipto) adalah 600KM sedangkan Jakarta (Soekarno-Hatta) sampai Jedah (King Abdul Aziz) katakanlah 8.400KM (walau sebenarnya lebih). Artinya Jakarta-Jedah jaraknya 14 kali Jakarta-Jogja. Untuk penerbangan Jogja-Jakarta membutuhkan 18.000 lbs bahan bakar atau setara dengan 8165 kg. Jadi untuk Jakarta-Jedah dibutuhkan sekitar 114.310 kg bahan bakar.
Sekarang bayangkan bobot pesawat Boeing 767-400 sebesar 103.100 kg harus membawa 114.310 kg bahan bakar ditambah sejumlah penumpang dan barang-barang yang dibawa penumpang. Mau diletakkan dimana bahan bakar sebanyak itu? Tangki pesawatnya diletakkan dimana? Begitu pertanyaan yang muncul.
Sekarang coba menelaah dengan pola mekanika yang sudah kita dapatkan bahkan saat masih SMA pun sudah didapatkan. Secara sederhana fase penerbangan pesawat dibedakan menjadi tiga yaitu tinggal landas (naik), terbang, dan mendarat (turun).
Saat naik gaya yang diperlukan oleh pesawat adalah untuk melawan gravitasi, percepatan untuk naik (percepatan vertikal dan horisontal), melawan gaya gesek terhadap udara, selanjutnya pada fase ini diakhiri dengan penyelarasan gerak horisontal. Artinya gaya yang diperlukan sangat besar karena harus melawan gaya gravitasi, untuk memperoleh percepatan keatas serta penyelarasan gerak horisontal, sebagaimana kita peroleh pada Hukum Newton II. Untuk itu diperlukan bahan bakar banyak.
Saat terbang di atas (untuk pesawat ketinggian statis sekitar 10.000 m dpl), pada ketinggian tersebut kerapatan udara sudah berkurang yang selanjutnya gaya gesek udara adalah kecil dan gaya gravitasi bumi yang berpengaruh juga kecil, dengan disain aerodinamis yang ada di pesawat, saat terbang pada ketinggian itu pesawat terbang tanpa bahan bakar avtur. Itulah kenapa kita tidak pernah mendengar pesawat terbang jatuh karena kehabisan bahan bakar pada saat terbang, yang ada karena kerusakan mesin. Pernahkan anda membayangkan benda seberat 103 ton melayang-layang di udara?
Saat pesawat turun gaya yang diperlukan pertama kali adalah adalah gaya untuk membelokkan selanjutnya diikuti gaya untuk melawan gravitasi agar tidak turun terlalu cepat, serta gaya untuk memperlambat kecepatan horisontal pesawat, disini juga yang memerlukan bahan bakar banyak.
Jadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi bahan bakar karena gaya yang diperlukan untuk proses naik-turun sangat besar. Jarak antar lapangan udara tidak berpengaruh banyak terhadap konsumsi bahan bakar pesawat. Sekiranya itulah jawabannya kenapa bahan bakar Jakarta-Jedah sama dengan Jakarta-Yogyakarta sebesar 18.000 lbs.
Mblumbang, 19 April 2010