Pekan ini cukup ramai di Jakarta mengenai pertentangan antara layanan transportasi reguler (sebut saja begitu) dan layanan transportasi berbasis aplikasi online. Layanan transportasi reguler yang saya maksud adalah layanan yang disediakan oleh semacam misal taxi biru, taxi putih, kopaja, dan metromini. Sedangkan layanan transportasi berbasis aplikasi online sebut saja Uber, GrabCar, GoJek, dan GrabBike. Sesederhana mungkin inti dari permasalahannya karena preferensi konsumen yang cenderung berubah seiring dengan kehadiran era digital. Meminjam istilah pak menteri, kita sudah memasuki revolusi digital.
Sektor transportasi saya rasa untuk kali ini menarik untuk dibahas. Karena sektor ini salah satu terdampak dari revolusi digital yang terekspos luas ke masyarakat. Layanan transportasi berbasis aplikasi sejak trend popularitasnya naik di akhir 2014 sudah terlihat akan hadirnya potensi permasalahan di kemudian hari. Paling terlihat mengenai perijinan, pajak jasa transportasi, permasalahan keamanan, dan tentu saja soal legalitas operasionalnya.
Jauh sebelum ada keramaian mengenai aplikasi onlline ini, sebenarnya sektor transportasi pernah lebih dulu memulai revolusinya, misal pemesanan tiket kereta api secara online memudahkan konsumennya (yang kebetulan saat itu Direktur Utama-nya Pak Jonan). Bayangkan, sebelum pemerintah punya pikiran online saja Pak Jonan beserta jajaran staff-nya bisa membaca potensi peningkatan pelayanan di sektor transportasi dengan bantuan sistem online. Apa ya perlu minta Pak Jonan naik jabatan jadi Dirut BlueBird atau Dirut Kopaja?
Menilik lebih jauh, sebenarnya aplikasi online BlueBird ada lebih dulu sebelum aplikasi semacam Uber atau Grab populer. Jika dibandingkan dengan aplikasi serupa terlihat bahwa aplikasi BlueBird masih kalah dalam hal promosi yang berimbas ketidakpopuleran aplikasinya. Saya sendiri pernah melakukan registrasi penggunaan aplikasi BlueBird pada awal tahun 2015, jauh-jauh hari sebelum saya memasang aplikasi layanan transportasi berbasis online lain. Saya baru menggunakan aplikasi Uber pada bulan Februari 2016 (baru dua bulan sebelum tulisan ini dibuat).
Pengalaman buruk saya, saya memesan taxi dengan titik penjemputan di gedung smping Bank Mandiri Mampang yang notabene hanya seberang jalan dari kantor pusat BlueBird. Sampai ada yang pick-up pesanan saya butuh waktu hampir 10 menit, ditambah lagi taxi baru sampai di lokasi penjemputan hampir 15 menit berikutnya. Bukan waktu yang singkat untuk orang yang sedang terburu-buru. Bahkan menurut saya masih lebih cepat kalau saya nunggu taxi yang lewat di pinggir jalan, tentu dengan konsekuensi kehujanan dan panas-panasan. Kekurangannya lagi, sistem-nya waktu itu belum memfasilitasi ruang feedback seluas-luasnya bagi konsumen untuk memberikan rating atau komentar atas layanan yang diberikan. Bagaimana korporat dapat mengevaluasi dengan baik driver maupun layanannya dengan hanya sedikit masukan dari konsumen?
Ketika saya coba membandingkan dengan sistem aplikasi layanan transportasi berbasis online yang tengah populer saat ini (sebut saja Uber), sebenarnya perusahaan taxi reguler bisa meniru cara komunikasi serupa Uber, cara komunikasinya lho ya bukan pelat hitam mobilnya. Sebut saja perlu penambahan fasilitas smartphone, yang sebenarnya biayanya bisa sepadan dengan sistem radio komunikasi yang tertempel di dashboard sekaligus menggantikan fungsi GPS. Ganti sistem radio (entah apa itu namanya) dan perangkat navigasi GPS dengan smartphone.
Selain mengenai kelambatan adopsi teknologi, perusahaan jasa transportasi juga perlu belajar soal preferensi konsumen. Konsumen selain menyukai kemudahan pemesanan juga menginginkan ruang yang lega saat menggunakan jasa transportasi, kenyamanan di dalam kendaraan, dan tentu saja murah. Kadang ada juga penumpang yang menginginkan untuk tampil elegan seolah-olah diantarkan dengan mobil pribadi (meski sebenarnya juga mobil rental).
Pekan ini kita baru mendengar keramaian di sektor transportasi. Sementara kedepan kita bisa jadi akan mendengar keramaian serupa dari sektor lain semisal perdagangan, pendidikan keterampilan, dan jasa perbankan. Ah, atau mungkin saja justru pak Rudiantara terlalu cepat memulai Revolusi Digital.
Gambar "Demonstrasi Taxi Reguler" dari Tempo Bisnis.