Dalam sebuah acara yang berhubungan dengan instansi pemerintahan tentunya perlu adanya sekedar “pengesah” agar acara terlihat resmi dalam hal keterlibatan instansi pemerintahan. Suatu saat dalam interaksi dengan sebuah instansi kedinasan di tingkat kabupaten/kota nun jauh disana ada suatu hal yang menarik dan saya kira “funny“.
Pada awalnya instansi tersebut mengatakan kalau instansi mau dan bersedia mendukung acara tersebut dengan syarat acara yang dilangsungkan tidak memungut biaya dari peserta atau dalam bahasa periklanan “GRATIS”, dengan alasan agar tidak ada pemikiran mengenai instansi tersebut cari uang dan tidak punya uang. Akhirnya pun disetujui kalau acara yang akan dilangsungkan memang GRATIS. Panitia menyetujui karena memang ini bagian dari usaha sosial kemasyarakatan, ini adalah kegiatan yang selayaknya didukung dari banyak pihak, tapi kenyataan di sebuah kota kecil nun jauh disana acara yang akan dilangsungkan seolah tak mendapat dukungan dari siapapun. Pokoke mesakke tenan wis.
Selanjutnya menjelang acara dimulailah permintaan dari panitia agar kepala instansi tersebut berpidato membuka acara. Tapi permintaan itu malah ditanggapi miring oleh si dedengkot instansi yang dimaksud, “Bayare piro?” begitu tanggapan Mr. SDP (bukan nama sebenernya) dalam bahasa kasar-nya.
“Lha sampeyan meh ngarani angka berapa lik? Nanti biar dicarikan utangan sama konco-konco.“
“Yo nek nggo mbuka acara yo atusan papat lah.”
Lhadalah, maunya terlihat agar tidak “cari uang” tapi dalamnya kok gitu ya. Untuk pejabat yang tidak tinggi hanya setingkat kedinasan kabupaten/kota saja Rp. 400.000,00, lha kalau presiden yang buka acara panitia harus bayar berapa ya?
Maunya terlihat gak cari uang kok dalamnya penuh dengan intrik keuangan. Piye jal?
Akhirnya panitia menuai kepasrahan. Ya sudah kalau ndak mau buka acara ya cukup diundang sebagai tamu acara saja. Masalah nanti ndak mau datang ya silakan, setidaknya panitia sudah beritikad baik dengan mengundang. Lha daripada membebani panitia. Iya to…