Untuk seri ketiga dari Karangsambung kali ini saya membahas bagaimana batuan bisa menghidupi mayoritas masyarakat di sekitar aliran Sungai Luk Ula. Mengenai sejarah geologi akan saya ceritakan belakangan. Sungai Luk Ula menjadi sumber supply pasir bangunan bagi daerah Kebumen dan sekitarnya. Ini seperti di Magelang-Jogja ada Merapi sebagai sumber pasir bangunan. Tetapi tentu source-nya berbeda.
Kalau Merapi jelas sumbernya gunung api yang hingga kini masih aktif. Pasir Luk Ula merupakan tumpukan dari pengikisan batuan pegunungan di sekitarnya yang kemudian tertransport hingga Luk Ula. Jadi pasir di Luk Ula bisa dikatakan memiliki sumber yang “lebih tua” dibanding pasir Merapi.
Karena sumbernya sekarang tinggal dari batuan di pegunungan sekitar Luk Ula, maka dalam jangka panjang bisa disimpulkan secara sederhana bahwa pasir di Luk Ula suatu saat akan habis. Tidak ada lagi gunung api aktif sebagai sumber keluarnya pasir. Tentunya berbeda dengan Merapi yang hiperaktif yang dalam hitungan tahun bisa menghasilkan jutaan kubik pasir.
Pasir di sungai Luk Ula bisa dikatakan sebagai “sawah” bagi sebagian masyarakat, meski jika ke Karangsambung masih bisa ditemukan daerah persawahan dalam arti yang sebenarnya. Dalam sebuah pembicaraan saya dengan bapak sopir angkutan, penambangan pasir di Luk Ula sebenarnya sudah tidak boleh menggunakan alat “berat” dalam artian tidak boleh menggunakan mesin penyedot pasir, apalagi digger karena akan merusak ekosistem secara masif. Dalam kenyataan masih saja ada penambang pasir yang menggunakan mesin-mesin berat untuk menambang.
Masih dari bapak sopir, Pemerintah Kabupaten Kebumen sebenarnya sudah mengeluarkan peraturan mengenai penambangan pasir ini, tetapi karena ada oknum yang nakal jadi penambangan pasir secara masif ini masih saja berlangsung. Jika hal ini terus dibiarkan, masyarakat yang menambang secara manual yang nanti akan tersingkir.
Bagaimana GreenPeace? Berani angkat bicara?