Seperti beberapa acara lain yang saya ikuti. Saya mencoba melihat sisi lain dari PB Jogja 2009. Saat semua mata tertuju pada aksi dan pertunjukan di pendopo JNM, saya menelusuri jejak kehidupan para penghuni JNM ini. Adalah Mas Maryoko dan Pak Sudoto (selalu bukan nama sebenarnya) satpam JNM yang saya temui di sela-sela kesibukannya ngatur kendaraan dan jaga keamanan TKP. Mas Maryoko ini tinggal tak jauh dari JNM di Kampung Kuncen Kecamatan Wirobrajan. Lhadalah, ternyata umurnya cuma selisih enam tahun sama saya. Yowis tak celuk mas wae lah. Pak Sudoto sendiri saya memperkirakan umurnya sudah kepala empat.
Apa to istimewanya satpam ini? Ya seperti satpam-satpam lainnya. Lha trus? Ya karena seperti satpam-satpam lainnya itu yang membuat saya penasaran. Kerja satu shift 12 jam dibagi tiga orang, setiap shift dua orang. Artinya dalam tiga hari satpam di JNM yang kata masnya luas hampir 1,6 hektar (sebenarnya saya ragu tapi yo wis lah percoyo wae timbang ngukur) jatah jaga dua hari kerja dan sehari libur. Kalau ada acara-acara semacam PB Jogja jadi lembur. Satpam-satpam ini yang setidaknya bisa mencegah tindak kejahatan di lingkungan JNM.
Mas Maryoko bisa jadi satpam selain memang memenuhi standar kualifikasi calon satpam juga ternyata sudah ada rekomendasi dari sesepuhnya. Disinilah kita perlu belajar tentang pentingnya relasi, persaudaraan, dan juga pertemanan. Saya tidak berbicara mengenai nepotisme yang sebenarnya memang selalu berjalan di mekanisme birokrasi kita. Saya berbicara tentang yang oleh banyak orang diistilahkan closed recruitment (bukan kloset). Jika sampeyan tau (saya juga katanya lho), katanya kebanyakan perusahaan besar melakukan pencidukan karyawan dan pekerja baru itu lebih banyak menggunakan model closed recruitment daripada open recruitment. Lha buktinya satpam juga begitu kok.
Pak Sudoto menjadi satpam sudah hampir empat tahun, menduduki JNM setahun. Dari pekerjaannya ini beliau dibantu istrinya bakul opor ternyata bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dan saat ini semester tiga. Walaupun harus diistilahkan gali lubang tutup lubang, tentu lebih baik daripada gali lubang gak ditutup. Bahaya to, bisa njebloske orang lain yang lewat.Pak Sudoto punya impian yang sangat muluk dan harapan yang besar terhadap anak satu-satunya itu. Setidaknya bisa mengangkat derajatnya sendiri, sukur-sukur orang tuanya katut kangkat.
Dari dua orang satpam yang sempat saya ajak guyon itu, sedikit saya memberi konklusi mengenai pola bicara dan arah pembicaraannya ternyata beliau-beliau ini menunjukkan perilaku egosentris, ingin memperlihatkan keakuan, menunjukkan “ini lho saya” yang saya rasa itu positif untuk menjadi semangat menjalani hidup. Lha saya ya cuma bisa mengiyakan dan menunjukkan rasa bangga bisa berkenalan dengan mereka. Semoga dengan begitu sifat bombongnya muncul dan bisa menambah semangat menjalankan tugasnya sebagai satuan pengaman.
“Wah iki pesta ning nek nggo aku yo dudu pesta,” begitu Pak Sudoto nyletuk.
Saya jadi berpikir. Iya ya, kenapa namanya Pesta Blogger. Kenapa harus pesta? Kenapa gak tetep pakai istilah kopdar aja. Kopdar Blogger-Blogger Indonesia (KBBI, koyo kamus wae). Bagi orang awam semacam saya dan tentu saja pak satpam tadi, pesta identik dengan foya-foya dan hura-hura. Ini maksudnya apa? Apakah teman-teman blogger mau melakukan perubahan radikal terhadap makna pesta yang udah ada di KBBI? Atau emang udah klewat malu kalau mau diubah namanya? Analisa saya sendiri (sekedar nebak) ungkapan Pesta Blogger ini gara-gara gak sengaja keprucut dari mulut penggagasnya. Maunya bukan pesta. Kalau ternyata salah maaf ya (saya masih newbie).
*matursuwun pak satpam udah mau jadi bahan galian ilmu saya.