Jam tangan menunjukkan 15.00 sudah lewat dari waktu sholat ashar, saya baru saja pulang dari Yogyakarta. Oh ya, minggu ini saya pulang tak seperti biasanya. Biasanya pulang rumah sudah menjelang malam. Sabtu siang berangkat dari Jogja, tanpa mampir ke rumah terlebih dahulu saya langsung menuju Ringin Tengah, tempat Gethukan para Pendekar Tidar. Minggu ini saya pulang hari Jumat.
Tak seperti biasa pula meski tidak ada gethukan hari ini, saya tidak segera pulang ke rumah. Saya mampir sebentar ke tempat makan nasi goreng kesukaan, di pertigaan Candimulyo. Tak jauh memang dari rumah, kalau pun jalan kaki tak sampai berselang 10 menit. Tapi saya lebih memilih mampir terlebih dahulu daripada harus bolak-balik. Setelah pesan saya pun pulang terlebih dahulu, beristirahat sejenak dan sholat ashar. Menjelang jam 16.30 saya baru kembali ke tempat jual nasi goreng tadi.
Sekiranya menunggu sekitar 90 menit untuk makanan disajikan adalah hal luarbiasa jika anda sudah memesan terlebih menunggu di tempat makan selama itu, nggondok. 90 menit adalah waktu untuk ngantri 16 porsi nasi goreng Pak Roji. Baru saja buka jam 14.30 dan saya pesan selang waktu setengah jam pun sudah ngantri 16 porsi.
Nasi goreng tetaplah nasi goreng, begitu mungkin. Lidah orang memang beda, tapi gak pernah bohong. Saya suka dengan aroma bumbu yang sangat kuat dari nasi goreng Pak Roji ini. Kalau orang Jawa mungkin tidak terlalu suka dengan rasa yang “menikam”, tapi saya suka meski saya orang Jawa. Nasi goreng Pak Roji dibuat masih menggunakan anglo dan masih menggunakan kepet. Serba manual deh pokoknya.
Selain nasi goreng, pak Roji juga menyediakan mie goreng, mie godog, juga nasi godog. Tapi saya sendiri belum mencoba mencicipi selain nasi goreng. Katanya sih enak, kapan-kapan lah saya coba.
Harga Rp 5.000,00 tentu bagi orang perkotaan adalah harga yang wajar. Tapi di pedesaan semacam Candimulyo, Rp 5.000,00 termasuk mahal pasalnya Rp 5.000,00 sudah bisa untuk makan sekeluarga, seharian. Mengandalkan hasil bumi dan tanam-tanaman liar yang untungnya banyak yang bisa dimakan. Harga yang dipasang per porsi dari nasi goreng Pak Roji, terakhir kali saya ke tempat itu adalah seharga Rp 4.000,00. Itu pun sudah termasuk mahal kata tetangga saya, seorang guru di SMP dekat rumah.
* Anglo diucapkan angklo, adalah semacam tungku bakar tetapi menggunakan arang sebagai bahan bakar, layaknya tempat membakar sate hanya bentuknya saja yang beda. Kepet adalah kipas terbuat dari bambu, huruf e pada kepet diucapkan layaknya mengucapkan merem.