Suasana begitu ramai terlihat di Plaza Ambarukmo Yogyakarta siang itu. Di dalam salah satu mall besar di Yogyakarta itu tampak rombongan remaja putri sedang melihat bermacam pernak-pernik aksesoris di salah satu toko pernak-pernik remaja. Sementara itu, terdapat sepasang kekasih sedang mengantri di kasir salah satu toko olahraga di lantai tiga. Di bagian lain mall, tepatnya lobi tengah lantai satu, sedang ada promosi besar-besaran salah satu operator telepon seluler. Itulah gambaran gaya hidup remaja masa kini yang suka jalan-jalan di mall.
Ada kegemaran lain yang menjadi idola para remaja untuk mengisi waktu luang, game online. Deretan game center dengan segala hiruk pikuknya menampilkan pemandangan yang menggairahkan sepanjang jalan Kaliurang. Salah satu game center yang ramai adalah New Genesis, tempat tongkrongan yang tidak hanya menawarkan game online (GO) tetapi juga Internet Corner, dan Kafe. Aktifitas kaum muda di Yogyakarta seperti jalan-jalan, game online, ataupun melepas penat di mall sudah menjadi pemandangan lumrah. Fenomena ini menunjukkan adanya pengaruh globalisasi. Pembangunan mall, game online, kedai kopi, diskotik, dan distro (Distribution Store) menjadi tanda adanya pengaruh tersebut.
Mahasiswa menjadi sasaran pasar yang potensial. Mall didirikan investor hanya untuk pendatang seperti mahasiswa, tidak untuk masyarakat biasa. Di sini terjadi simbiosis mutualisme antara investor dan mahasiswa. Implikasinya, muncul budaya konsumtif yang bagi sebagian kalangan mengkhawatirkan.
Idealnya Yogyakarta banyak dibangun ruang publik yang dapat mewadahi interaksi dan nilai-nilai dalam masyarakat. Menciptakan suasana yang membangun nilai-nilai Yogyakarta sebagai kota pelajar. Yogyakarta semestinya memilih buat masa depan. Pertama, tetap menyandang predikat kota pendidikan sebagai branding dengan logika pasar. Kedua, kembali melahirkan learning society dengan tanggungjawab intelektual dan sepenuh pengabdian untuk Indonesia, Bangsa, dan rakyat.