Tahun ini adalah kali kedua saya mudik lebaran dari Jakarta. Sebelum menjadi migrant di Jakarta, saya paling pol mudik hanya dari Yogyakarta ke rumah orangtua di Magelang. Pekerjaan dan takdir telah menyeret saya ke delta sungai Ciliwung yang disebut Jakarta dan mengenal “mudik”.
Beberapa tahun sebelum saya mengalami sendiri mudik dari Jakarta, dalam persepsi saya mudik adalah tradisi yang sangat banyak menghabiskan sumber daya. Jelas yang harus keluar dari tiap individu-individu pemudik paling utama adalah waktu. Beberapa saudara saya (keluarga besar kakek-nenek saya, dari ibu) mudik dari Tangerang dan dalam beberapa tahun belakangan sedikitnya menghabiskan waktu untuk perjalanan Tangerang-Magelang selama 20 jam menggunakan kendaraan pribadi.
Saya dalam dua kali mudik lebaran selalu mengandalkan kereta api sebagai moda transportasi utama. Saya lebih memilih menggunakan kereta api karena dari segi jumlah “penumpang” yang harus bersama saya paling pol dua sampai tiga orang. Itu pun sesampai di stasiun tujuan langsung bubar jalan, menyebar ke arah rumah masing-masing. Selain itu dari sisi waktu, moda transportasi kereta api bisa memberikan kepastian lebih presisi mengenai keberangkatan dan sampainya di stasiun tujuan. Berbeda dengan melalui jalan raya yang swing ETA (estimated time arrival) bisa sangat lebar tergantung kondisi jalan raya, volume kendaraan, dan banyak faktor-faktor lain yang menjadi variabel saling berpengaruh.
Untuk saat ini memang bisa dihitung perkiraan kalau biaya menggunakan moda transportasi kereta api non-PSO (tidak disubsidi) masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan mobil pribadi. Katakanlah untuk BBM kendaraan pribadi kelas 1500cc Jakarta-Magelang kira-kira menghabiskan Rp650.000,00 (non-subsidi), pun itu bisa mengangkut –supaya tetap nyaman- empat orang. Dua kali perjalanan sekira menghabiskan Rp1.500.000,00 (ditambah biaya lain-lain) untuk 4 orang. Bandingkan dengan kereta api yang katakanlah naik kelas eksekutif murah Rp300.000,00 dikalikan 4 orang sekali jalan sudah menghabiskan Rp1.200.000,00, dua kali perjalanan Rp2.400.000,00. Terlampau lebih mahal dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
Pun begitu, untuk saat ini saya masih lebih memilih menggunakan kereta api meski lebih mahal.
Entah kalau kemudian hari saya sudah berkeluarga (kapan ya?) dengan beberapa anak dan perlu berhajat mudik, saya akan mempertimbangkan efektifitas mudik menggunakan kereta api, apakah masih memungkinkan. Maksud saya, apakah nantinya tidak repot di kampung halaman saat harus sowan-sowan ke rumah simbahnya anak-anak atau ke sedulur-sedulur. Terlebih, saat-saat awal lebaran biasanya sarana transportasi umum di kampung halaman saya bisa dibilang sangat terbatas (hampir bisa dibilang tidak ada).
Mungkin masih bisa tetap naik kereta api (saya phobia naik pesawat) untuk kemudian di kampung halaman bisa sewa mobil, tetapi kemudian muncul lubang baru yang menghabiskan sumber daya, biaya-biaya yang sangat tinggi.
Entah menghabiskan waktu maupun biaya tinggi, tetapi menurut saya mudik membawa banyak manfaat silaturahim, silaturahmi, membantu pemerataan peredaran uang, dan masih banyak manfaat lain yang menurut saya itu jauh lebih banyak manfaat daripada mudharat. *tenan lho*
Saya masih cukup bersyukur untuk mudik meski sudah tidak disubsidi pemerintah pun masih bisa melakoni. Kakak saya yang nyantrik ngajar ilmu Fisika Dasar di Palangkaraya setiap mudik sekali perjalanan per gundul harus keluar sekitar Rp1.200.000,00 padahal sudah berkeluarga, mudik dengan satu anak dan satu istri.
Ya, persaudaraan dan kekerabatan bukanlah sesuatu yang dapat ditafsirkan dalam rupiah.