Beberapa minggu lalu saya menerima sebuah imel forward dari kaumbiasa berisi undangan acara SOLO dari kawan bengawan. Tak terasa saya sebentar lagi akan menginjakkan kaki di Solo -kota yang sedang dalam masa rilis the cyber city dan the spirit of Java– untuk menghadiri undangan dari konco Bengawan. Sebagai salah satu tetangga komunitas dan mengemban ikrar paseduluran tanpa batas yang diusung Pendekar Tidar, adalah wajib ain untuk menghadiri undangan. Ada hal lain selain paseduluran tanpa batas yang membawa saya semakin bersemangat menuju SOLO.
Dalam sebuah perjumpaan wirablogger di Wonosobo tahun lalu, sempat balatidar bertukar cincin cinderamata dengan wirablogger dari wilayah-wilayah lain yang hadir dalam acara bertajuk Wisata Blogger itu. Salah satu cinderamata yang menarik adalah kitab solo yang diulurkan melalui tangan pakdhe blontank. Beruntung balatidar mendapatkan dua buah buku yang ternyata setelah saya baca di markas online bengawan ternyata hanya dicetak 1000, artinya buku ini adalah limited edition tetapi bukan dibuat dengan limitation.
Saya waktu itu sempat sedikit menyimak beberapa seratan dari Arswendo, dan yang membuat saya terkesan adalah kalimat (atau mungkin frase) berikut ini:
Di Solo, setiap batu punya cerita.
Begitu kalau ingatan saya memang masih bagus dan belum corrupted. Saya secara keilmuan geologi, geofisika, dan geodesi memang menganggap ini sesuatu yang luarbiasa. Sebenarnya yang batunya punya cerita itu tak hanya Solo, bahkan batu pondasi rumah saya pun punya cerita.
Ketika saya kaji lebih mendalam dengan segenap keilmuan yang dipinjamkan kepada saya, saya secara mutlak tanpa tendensi apapun sangat setuju dengan pernyataan itu. Pasalnya Solo memiliki keindahan alam yang mengandung banyak keilmuan geosains, salah satunya adalah Bengawan Solo. Dari Bengawan Solo ini orang banyak menggali sejarah dengan membaca batuan-batuan disekelilingnya.
Ya, batuan adalah salah satu media penyimpan memori masalalu. Media storage yang satu ini bisa jadi mulai menyimpan memorinya sejak berjuta-juta tahun lalu, sangat-sangat jauh sebelum manusia mengenal pita magnetik dan flashdisk. Bayangkan saja umur batuan yang kalau saya mereferensi pada batuan yang terbentuk pada kala miosen tengah adalah batuan berumur 10,2 – 16,2 juta tahun, maka selama itulah salah satu batuan yang ada di Bengawan Solo menyimpan memori. Perlu diketahui pula, hingga saat ini pun batuan itu masih tetap merekam kejadian-kejadian yang dialaminya. Tentu ini lebih hebat dari camcorder kita, butuh berapa terrabyte untuk menyimpan rekaman kejadian selama itu?
Dari batuan pula orang menyimpulkan bahwa pada jaman dahulu aliran sungai Bengawan Solo bermuara di pantai Sadeng (Gunung Kidul) meskipun kenyataan sekarang muara Bengawan Solo ada di Tuban (Jawa Timur). Selama 262,5 – 408,5 juta tahun (zaman devon) rekaman kejadian saat itu masih tersimpan rapi dalam batuan, hingga saat ini. Sungguh hebat bukan batuan yang ada di Bengawan Solo?