Desa Penyangga Kota

Desa merupakan satuan keompok masyarakat mandiri yang posisinya di luar jejaring pemerintahan negara. Satuan kedinasan terendah dalam struktur pemerintahan terbatas hanya sampai pada lingkup camat dan jajarannya. Kepala desa atau orang menyebut kades adalah pucuk pimpinan dari sebuah desa yang terdiri dari beberapa dusun di bawahnya. Kepala desa tidak bertanggungjawab kepada camat ataupun bupati. Desa sederajat dengan kelurahan.

Desa mengacu pada tatanan yang ada di wilayah kabupaten sedangkan kampung mengacu pada tatanan wilayah yang ada di wilayah perkotaan. Dalam bayangan siapapun, istilah desa melambangkan sebuah tatanan kehidupan yang slow dan tata ruang yang masih longgar-longgar. Jarak antar rumah yang cukup jauh, banyak pepohonan, saling mengenal antar tetangga jauh. Ibaratnya desa adalah gambaran ideal tatanan kehidupan dengan jarak interpersonal dan ekstrapersonal dari tiap individu hampir tidak ada. Dalam bayangan kebanyakan orang, kampung identik dengan kekumuhan, jarak antar rumah yang rengket-rengket, dan identik dengan gang-gang sempit. Tak ayal kampung diidentikkan dengan grusah-grusuh atau dinamika pergerakan yang cepat. Meskipun sebenarnya tak sedikut juga kampung yang sudah teratur, rapih, dan tertata.

Kabupaten yang identik dengan desa dan kota yang identik dengan kampung merupakan rangkaian mata rantai kompleks yang saling berkaitan. Dalam bahasa sederhana, kabupaten ibaratnya semacam buffer atau penyangga bagi kota. Dengan kepadatan penduduk kota yang jauh lebih tinggi dari kabupaten, kabupaten menjadi penyangga yang menampung para pemburu-pemburu koin yang beroperasi di kota.

Barangkali masih ada yang membandingkan istilah desa-kota yang sebenarnya dalam struktural tak bisa disejajarkan. Namun, dalam kapasitas membandingkan kondisi dan tatanan sosial, penyebutan desa-kota merujuk pada keteraturan-kesemrawutan. Banyak orang mendambakan keteraturan dan tidak menyukai kesemrawutan.

Mempopulerkan istilah ‘ndeso’ telah membawa banyak kemunduran jaman di desa. Siapapun sebaiknya merasa berdosa saat menyebut ‘ndeso’ sebagai bentuk ejekan yang dikonotasikan buruk. Sadar tak sadar, ‘ndeso’ merupakan sebuah bentuk penistaan terhadap keteraturan kehidupan desa karena pada kenyataan desa masih jauh lebih baik dibandingkan kota.

Untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, sumber daya yang ada di sekitar desa sudah cukup. Ketika mencampurkan unsur kebutuhan hidup dengan ‘keinginan’ hidup maka kemudian kota menjadi tujuan untuk memenuhi ‘keinginan’ hidup. Tak ada yang salah dengan keinginan, karena memang hakikat hidup memenuhi fungsi urip, arep, urap, lan urup (hidup, berkeinginan, membaur, dan bertukar). Tentu yang diharapkan adalah interaksi yang membawa nilai-nilai positif.

Bila interaksi antara desa-kota yang diangkut bersama pemenuhan ‘keinginan’ hidup membawa petaka maka yang diperoleh adalah interaksi yang membawa kemunduran jaman. Interaksi jenis ini banyak dihindari oleh tatanan sosial desa beserta para perangkatnya. Namun pada akhirnya, setiap individu-individu di desa akan menentukan apa saja yang diambil dari kota. Kepala desa, kepala dusun, dan perangkatnya tak bisa mengatur apapun yang diserap oleh warganya. Kepala desa sebatas mengayomi warganya, bukan untuk mengatur individu di desanya. Harapannya desa mempertahankan untuk tetap menjadi desa, sedangkan kota berkewajiban belajar kearifan-kearifan yang masih tersimpan di desa untuk terciptanya hubungan desa sebagai penyangga kota yang sehat.

Bayar 2,4GHz?

Beberapa waktu lalu (meski sudah cukup lama) beredar berita mengenai rencana pemerintah “mengkomersialkan” frekuensi 2,4GHz. Frekuensi 2,4GHz adalah frekuensi yang kita pakai untuk microwave, bluetooth, WiFi, dan beberapa perangkat lainnya. Sungguh ini menyalahi aturan penggunaan frekuensi internasional, karena menurut perjanjian Internasional (tentunya Indonesia ikut didalamnya) frekuensi 2,4GHz adalah frekuensi bebas alias gratis yang sebenernya didedikasikan untuk jaringan skala kecil dan untuk riset.

Lagi-lagi kementerian yang ngurus penggunaan frekuensi nganeh-anehi. Mosok besok kita harus mbayar buat penggunaan bluetooth kita, mosok kita harus mbayar penggunaan WiFi kita. Kalau katanya yang dikuasai oleh negara kan bumi air seperti dalam puisi: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Sayang sekali kata-katanya kini dalam penerapan hanya terpotong sampai pada frase dikuasai negara. Perlu diketahui juga bahwa yang dikuasai negara hanya bumi dan air menurut undang-undang. Jadi siapa yang menguasai udara kalau begitu?

Hajat hidup orang banyak kini mulai tergantung dengan udara, karena melalui udara kita bisa menggunakan telepon seluler untuk SMS, melakukan panggilan telepon, dan internet pun kini sudah melalui udara. Siapa yang menguasai? Masihkah negara menguasai? Masihkah digunakan untuk kemakmuran rakyat?

Penggunaan frekuensi 2,4GHz di udara Indonesia yang seharusnya adalah bebas kini sudah mulai ada indikasi untuk dikomersialkan oleh pihak yang mengatur penggunaan frekuensi. Hati-hati, bisa jadi besok anda gojeg kere di angkringan pun harus mbayar karena menggunakan udara sebagai medium perantaranya.

Jan bobrok….

Teror Media

Tulisan dengan judul yang sama pernah saya tulis dan dimuat dalam satu edisi media kampus yang terbit setiap 2 minggu. Tetapi untuk kali ini membahas sebuah kejadian dari prespektif yang berbeda. tentunya menggunakan studi kasus yang berbeda pula. Sekiranya ada perbedaan alur cerita, itu hanyalah soal sudut pandang, cara pandang, dan jarak pandang masing-masing dari kita.

Kasih Permen, Salesman Dihajar Warga Kampung
Hari Sabtu (17 Juli 2010) setelah Isya’ beberapa warga dusun MJ mencurigai seorang laki-laki tak dikenal yang membagi-bagikan makanan kepada anak-anak. Sesaat kemudian terjadi keributan, laki-laki tak dikenal itu dihajar masa. Beruntung sesaat kemudian amarah warga sedikit reda, laki-laki asing itu pun diinterogasi oleh aparat dusun setempat.Kejadian ini sungguh sungguh terjadi di sebuah kampung di wilayah Kecamatan Candimulyo. Akibat maraknya isu penculikan anak-anak di beberapa wilayah Magelang, warga Magelang pun meningkatkan kewaspadaannya tak terkecuali desa MJ (nama desa disamarkan). Menurut desas-desus yang beredar, pelaku kriminal ini menculik anak-anak untuk diambil organ dalamnya. Belum diketahui secara pasti motif dan tujuan pelaku, namun dari analisis Mas Wito (bukan nama sebenarnya) kemungkinan pengambilan organ dalam ini berhubungan dengan praktek kedokteran.

Dari hasil interogasi diketahui laki-laki tersebut adalah penjual mainan anak-anak yang kebetulan mampir sholat. Ditanya mengenai motif memberi makanan kepada anak-anak adalah karena makanan itu adalah sisa dagangannya hari ini yang jika dibiarkan sampai besok sudah basi, daripada terbuang sia-sia mumpung masih bagus laki-laki itu membagikannya kepada anak-anak.

Sesaat kemudian datang juragan dari laki-laki itu untuk menjelaskan kepada warga bahwa anak buahnya ini memang benar-benar seorang salesman penjual mainan anak-anak, laki-laki ini menggantikan ayahnya yang biasanya memang menjual mainan anak-anak di sekitar Kecamatan Candimulyo.

Kenyataan kecil ini merupakan bentuk ketakutan yang berlebihan dari warga kampung yang merasa terteror denga isu penculikan untuk diambil organnya. Bagaimanapun tindakan menghajar orang asing yang dilakukan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Isu penculikan ini adalah sebuah bentuk teror yang nyata dan menimbulkan situasi yang tidak kondusif.

Sekiranya aparat keamanan segera menindaklanjuti kebenaran desas-desus penculikan ini, setidaknya dengan memberi keterangan pers perihal kebenaran desas-desus tersebut. Kalau memang benar-benar terjadi penculikan-pembunuhan harusnya segera ditindaklanjuti. Membiarkan adanya ketidakjelasan perihal penculikan ini juga bisa jadi bagian dari teror itu sendiri jika mengacu pengertian teror adalah menimbulkan rasa takut pada orang banyak.

NB: Hati-hati berbuat baik disaat kondisi masyarakat yang tidak kondusif.

Melatih Kebiasaan Berfikir Melalui Blog

Blog adalah sebuah real media dalam dunia maya, begitu kata Mas Novi dalam blognya. Tentu ada banyak alasan mengapa bisa dikatakan sebagai real media. Bagi saya blog menjadi real media karena blog adalah tempat berekspresi, menuangkan ide, menuangkan pikiran, membuang kegundahan. Tentunya dengan ber-blogging secara langsung belajar menjadi wartawan sendiri, menjadi editor sendiri, menjadi publisher sendiri, sama nikmatnya dengan kita nulis di majalah/koran. Bedanya kalau di koran yang editornya bukan kita, publishernya bukan kita, tapi kita dapet bayaran sedangkan blog kita jadi segalanya tetapi gak dapet bayar.

Sebuah tulisan blog tentunya tidak elok kalau sekedar satu kalimat pendek, meskipun tentu saja hal itu diijinkan. Istilahnya “blog yo blogku dewek” begitu mengapa seorang blogger kok ndak mau diatur. Tentu seorang penulis blog ingin menyajikan tulisan yang menarik dan enak dibaca. Dari keinginan inilah seorang blogger belajar menjadi penulis sekaligus editor.

Siapa yang akan “memperbaiki” gaya penulisan kita? Komentator dan pengunjung lah yang akan menunjukkan bagaimana sebuah tulisan akan menjadi menarik. Tentunya komentator tidak akan mengatakan tulisan kita jelek, hampir semuanya adalah komentar yang positif. Itulah yang bagi kita akan menjadi penyemangat untuk terus memperbaiki gaya penulisan kita.

Lebih jauh lagi, bagaimana untuk mendatangkan pengunjung dan komentator? Paling gampang adalah dengan mengalah terlebih dahulu untuk berkunjung ke blog-blog lain dan meninggalkan komentar. Tidak semua blogger jika dikunjungi akan balik berkunjung, kunjungi blog sebanyak-banyaknya tinggalkan komentar di masing-masing blog yang dikunjungi, setidaknya kita dapatkan informasi dan ilmu yang lebih dengan berkunjung ke blog lain.

Blog tidak seperti koran atau majalah yang proses komunikasinya hanya berjalan satu arah. Blog adalah komunikasi dua arah antara penulis dan pemberi komentar akan terjadi semacam diskusi timbal balik. Disinilah proses pembelajaran dapat kita ambil.

Tentu dari itu semua butuh proses pemikiran yang tidak pendek mulai dari membuat tulisan, berkunjung ke blog lain (blogwalking), berkomentar, membalas komentar, hingga kita memunculkan tulisan baru dan kejadian ini terus berulang sehingga apa yang kita sajikan di blog akan semakin menarik dan enak dibaca. Proses ini melatih kita untuk membiasakan berfikir.

Pahlawan 1

Beberapa tahun yang lalu waktu masih sekolah SMP, saya pernah ditegur oleh guru saya di kelas karena menjelang jam belajar hampir berakhir saya sudah ngributi menata buku-buku saya ke dalam tas, “Mas, pelajaran belum selesai kok sudah siap-siap pulang. Meh ngarit po?

Betapa saya telah dipermalukan dihadapan teman-teman sekelas saat itu. Ada sedikit rasa “mengutuk” ucapan sang pahlawan yang katanya tanpa tanda jasa. Setelah saya duduk di bangku SMA, saya menyadari bahwa tindakan saya waktu itu memang salah, saya tidak menghargai ibu guru yang mengajar waktu itu, pastinya sang guru pun merasa tidak dihargai.

Lain dahulu, lain pula sekarang. Hari ini gantian seorang kawan yang berbicara didepan ngemsi sebuah acara yang diselenggarakan gratisan dengan peserta (audence) adalah bapak/ibu guru. Ada sedikit rasa bangga juga bisa mempersembahkan acara seperti ini untuk para bapak/ibu saya. Tapi jadi sedikit kecewa ketika acara belum ditutup (menjelang akhir acara) sebagian besar peserta keluar dari ruangan. Ini kan sama halnya pulang sebelum bel pulang dikumandangkan yang selanjutnya dapat direpresentasikan suatu bentuk tidak menghargai.

Jadi, berilah alasan kenapa siswa tidak menghargai gurunya?

Sebagai anak yang baik tentunya tidak pantas menegur langsung orang tuanya. Sepengetahuan saya, dalam koridor “saling mengingatkan dalam kebaikan” sudah selayaknya dilakukan dengan cara yang elegan. Pastinya tidak elegan jika anak mengingatkan orang tua saat itu juga. Bukankah itu memalukan? Apakah ini sebuah contoh yang baik dari sosok yang “digugu lan ditiru saru”?

“Hargailah orang lain, maka Anda juga dihargai.”