Becak Solo (2)

Menjelang malam sembari menunggu perjalanan kembali ke tempat nginep, saya bersama beberapa kawan blogger menyempatkan diri berfoto di patung Slamet Riyadi dan air mancur dibelakangnya.

Puas mengabadikan gambar, balablogger pun kembali menuju depan Graha Solo Raya. Seperti kejadian sore hari, masih saja saya bertemu dengan tukang becak tetapi saya pekewuh untuk bertanya mengenai identitasnya.

Pertemuan saya dengan tukang becak kali ini tidak membicarakan mengenai internet lagi, tetapi membicarakan bentuk becak Solo yang berbeda dengan Becak di Magelang dan Yogyakarta.

Becak di Solo Raya ukurannya lebih kecil dan bentuknya pun ramping. Becak di Magelang-Yogyakarta cenderung berukuran besar dan kembung.

Bapak tukang becak yang ini tidak tahu mengenai sejarahnya, mengenai siapa mbahnya becak, siapa yang membawa becak ke Solo, mengenai kenapa becaknya ramping. Bapak tukang becak yang ini lebih berpikir logis dengan menjabarkan secara fisik becak Solo lebih ringan karena lebih kecil dan ramping.

Tentu kalau ditelusur lebih dalam mengenai asal mula becak Solo ini akan menjadi bumbu cerita Solo. Meski tidak akan menjadi cerita utama mengenai solo, tetapi cukup mewarnai sejarah Solo Raya. Tapi siapa yang mau menelusuri ceritanya? Kawan bengawan ada yang bersedia?

Kota Kedua, Yogyakarta

Yogyakarta merupakan tempat singgah saya yang kedua. Sedang tempat pertamaku adalah kelahiranku, Magelang. Meski bersebelahan dan bertetangga, Yogyakarta dan Magelang memiliki dinamika dan citarasa yang berbeda. Yogyakarta masih sedikit ada rasa tatanan kerajaan meski sekarang sudah mulai pudar.

Di Yogyakarta saya bisa dengan mudah menemukan ruang publik (public space) yang bebas dipakai siapa saja untuk berinteraksi tanpa harus bayar mahal. Di Magelang memang ada public space, tapi ya dengan fasilitas seadanya dan sangat sedikit bisa ditemukan. Mungkin ini yang setidaknya bisa kita buat kesimpulan kenapa Yogyakarta bisa lebih semarak dibandingkan Magelang. Satu masukan untuk para pengembang tata kota di Magelang untuk perlunya memperhatikan public space ini.

Seingatku, aku menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta adalah saat bulik wisuda di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), umurku masih 4 tahun. Kedua adalah mengantar kakakku menuju kost pertama-nya di daerah Pogung Kidul, kakakku masuk UGM saat aku masih SMP. Sayang sekali aku tak dapat menghadiri upacara wisuda kakakku 5 tahun kemudian.

Sekarang aku merasakan langsung kehidupan Yogyakarta. Aku masuk UGM tahun 2007 lalu, dan hingga saat ini aku masih di Yogyakarta. Yogyakarta adalah permulaan aku tinggal jauh dari orang tua, harus mandiri dalam hal kebutuhan sehari-hari, meski tidak secara finansial. Secara finansial tanganku masih dibawah, dihidupi oleh orangtuaku.

Pertama kali tinggal di Yogyakarta ada semacam culture shock meski masih dapat kukendalikan. Dinamika keseharian di Yogyakarta sedikit lebih cepat dari Magelang. Meski dalam angan saya, Yogyakarta masih tidak secepat Semarang atau bahkan Jakarta. Kalau di Magelang orang mengatakan “rasah kesusu” (jangan buru-buru, ID) di Yogyakarta orang bilang “santai wae dab” (santai aja, ID). Meski kira-kira bermakna sama, tapi dalam hal rasa “santai wae dab” tetap terasa masih harus agak cepat.

Awalnya tidak begitu mengenal kehidupan masyarakat Yogyakarta, karena memang aku ke Yogyakarta untuk studi. Hampir tiga bulan aku tidak begitu memperhatikan tatanan kehidupan di Yogyakarta. Tapi seiring waktu sedikit-sedikit aku mulai mengikuti kehidupan kampung, dan kehidupan kost di Yogyakarta. Hingga saat ini pun aku belum begitu mengenal tatanan kemasyarakatan di Yogyakarta kecuali hanya tatanan interaksi di kost. Itu pun sebatas sesama mahasiswa yang kebanyakan malah dari luar Yogyakarta.

Sesekali memang bisa ngangkring di depan kost, berbicara dengan warga di sekitar kost meski tak bisa secara intens. Sesekali pula bersama dengan warga kampung dan teman-teman kost ikut bersih-bersih kampung menjelang Agustusan. Tiga tahun sudah berlalu, masih tetap dengan statement sama bahwa Yogyakarta masih banyak menyimpan misteri yang ingin ku ungkap.

Yogyakarta memang bukan tempatku menetap, tapi adalah tempat singgah yang nyaman dan suatu saat nanti ketika tidak di Yogyakarta aku ingin merasakan kembali kehidupan Yogyakarta. Suatu saat nanti aku pasti kan kembali ke tempat ini.

Yogyakarta, 18 Juni 2010

Bayar Omah Miring

Sesuai yang telah saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya mengenai omahmiring, Langkah pertama yang saya lakukan adalah memperpanjang masa pemakaian domain omahmiring.com ke registrar-nya langsung di name.com.

Sebenarnya masih lama masa berlaku domain omahmiring.com ini habis, kalau tidak diperpanjang sekarang pun domain omahmiring.com masih aktif hingga tanggal 22 Juli 2010. Saya memilih diperpanjang lebih awal karena memang dari beberapa domain yang saya daftarkan yang paling mendekati habis adalah vicika.com baru selanjutnya omahmiring.com, untuk domain vicika.com tidak saya perpanjang karena itu milik teman saya dan teman saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pemakaian domain vicika.com. Jadi yang saya perpanjang adalah domain omahmiring.com.

Memperpanjang domain omahmiring.com tidak mengeluarkan biaya lebih dari Rp 90.000,00 pasalnya saya hanya membayar 8,99 USD yang jika dalam Rupiah sekitar Rp 81.809,00 (misal 1 USD = 9100 IDR). Pembayaran yang saya lakukan adalah lewat PayPal.

Ambles

Permasalahan amblesan tanah timbul akibat pengambilan air bawah tanah yang berlebihan dari lapisan akuifer, khususnya akuifer tertekan. Amblesan tanah yang terjadi di dataran diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, vaitu penurunan muka air tanah akibat pemompaan dan peningkatan beban karena pengurugan tanah. Penurunan muka airtanah akan menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besamya tegangan efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya maka tanah akan mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada daerah konsolidasi normal.

Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu yang lama dan terjadi pada daerah yang luas, sehingga dapat mengakibatkan dampak negatif yang lain, antara lain :

  1. Banjir dan masuknya air laut ke arah darat pada saat pasang naik, sehingga menggenangi perumahan, jalan, atau bangunan lain yang lebih rendah.
  2. Menyusutnya ruang lintas pada kolong jembatan, sehingga mengganggu lalu lintas. Secara regional amblesan tanah mengakibatkan pondasi jembatan menurun dan mempersempit kolong jembatan.
  3. Rusaknya bangunan fisik seperti pondasi jembatan/bangunan gedung tinggi, sumur bor, dan retaknya pipa saluran air limbah dan jaringan yang lain.

Contohnya (pengukuran Pak Hasanuddin beserta tim dari Geodesi ITM). Dengan teknik pengukuran GPS geodetik melakukan pengukuran. Dibawah ini gambar disekitar lokasi amblesan yang dibuat pada bulan Agustus 2009 lalu. Warna biru muda mengarah kebawah itu menunjukkan besarnya penurunan. Terlihat dibagian tengan memiliki garis panah terpanjang, itu menunjukkan besaran penurunan terbesar. Garis panah warna hitam menunjukkan arah pergerakannya. Jadi terlihat dengan jelas bahwa arah amblesan itu menuju ke satu titik yang sama.

Garis-garis dengan warna pelangi itu menunjukkan besarnya gaya gravitasi. Itu menunjukkan daerah yang memilki densitas rendah dengan warna biru. Artinya kemungkinan daerah berwarna itu merupakan tempat yang sangat mungkin akan ambles. Garis hitam bergerigi seperti sisir itu memperlihatkan kemungkinan patahan atau garis-garis amblesan seperti yang digambarkan pada penampang seismik di tulisan sebelumnya.

Seperti yang ditulis di harian Kompas “Desa Siring yang terletak sekitar 300 meter sebelah barat titik semburan, permukaan tanahnya turun sekitar 88 sentimeter dalam sebulan atau 2,5 cm per hari. Padahal, dalam standard normal, penurunan tanah maksimal 10 sentimeter per tahun.” Jadi satu persatu kejadian dari siklus pembentukan gununglumpur sudah teramati di Desa Siring Sidoarjo. Tentunya munculnya hydrothermal sejak dua bulan lalu harus juga diamati secara teliti.

Referensi:

Osella, A., Favetto, A., Martinelli, P., Cernadas, D., “Electrical imaging of an alluvial aquifer at the Antinaco-Los Colorados tectonic valley in the Sierras Pampeanas, Argentina”, J. Applied Geophysics, 41, 359-368, (1999).

http://arifgeospasia.wordpress.com/2009/07/24/potensi-air-bawah-tanah/

White, P.A., “Electrode arrays for measuring groundwater flow direction and velocity”, Geophysics, 59, 192-201, (1994).

Omah Miring

Berdiri pertengahan 2009 lalu, diatas pilar yang tak begitu kuat ditambah lagi dari segi arsitektur dan pengelolaan bahan-bahan bangunan yang kurang berpengalaman, berdiri sebuah rumah sederhana berpagarkan pring wuluh, beratap damen pari. Baru sehari rumah selesai dibangun telah diguncang oleh suatu kekuatan mistis dan serba aneh, menyebabkan rumah itu agak condong ke arah barat.

Lama berselang, sudah hampir setahun berlalu. Pagar-pagar rumah mulai hancur oleh rayap-rayap, kelinci membuat lorong tepat dibawah pilar utama, tikus-tikus membusukkan perabotan rumah yang ada. Penghuni rumah yang sudah tua renta itu pun tak lagi mampu mengurusnya. Apalagi daya kekuatan dan pikiran yang memang tak seberapa, roboh juga rumah yang belum genap setahun berdiri itu. Begitulah sedikit cerita mengenai robohnya omahmiring.

Omahmiring telah roboh, tak menyurutkan semangat saya untuk kembali membangkitkan rumah itu. Sebagai generasi penerus, ingin rasanya menghidupkan kembali semangat yang ada pada diri penghuninya beserta kekuatannya yang mungkin akan menjadi maha dahsyat karena masa dormant yang panjang.

Sosok inspirator omahmiring (tetangga saya) memang secara fisik sudah meninggal dua bulan yang lalu. Tapi tentunya masih ada kehidupan-kehidupan miring di tempat lainnya yang karena kondisi tatanan dunia ini mulai aneh mereka tak mampu berdiri tegar.

Untuk sementara waktu agar pengunjung omahmiring tak kecewa saya mencoba untuk mempertemukan pengunjung dengan anak-nya omahmiring. Anak inilah yang mewarisi segala petuah-petuah tulisan dari orangtuanya (omahmiring), yang dengan segala daya berusaha menghadirkan omahmiring kembali ke tatanan dunia yang telah ditinggalkannya beberapa saat lalu. Disini masih ada catatan-catatan omahmiring tersimpan rapi, dan anda masih bisa nginguk kapan saja anda mau.

Omahmiring tidak mati, omahmiring masih hidup dalam tidur panjangnya, sedang dalam masa dormant. Masih menunggu sosok anaknya sedang berusaha membangkitkan kembali, melalui ritual-ritual ghaib dalam kemayaan dunianya. Untuk membangkitkan kembali arwah omahmiring yang terkunci.

Please wait a moment….