Ledok Gebang Fishing & Resto

Bagi beberapa orang memancing bisa saja sudah menjadi hobi yang pastinya menyenangkan bila dilakukan. Sebagian orang lagi memiliki hobi kuliner (mencintai makanan) hingga rela melakukan “ekspedisi” ke berbagai tempat untuk mencicipi berbagai variasi kuliner. Beberapa lainnya memiliki kedua hobi diatas, memancing dan kuliner.

Mengawali keceriaan di bulan September, saya dan beberapa teman mencoba menjajaki tempat makan dan pemancingan di daerah Candi Gebang (Wedomartani, Ngemplak, Sleman). Ledok Gebang Fishing and Resto adalah salah satu tujuan wisata kuliner dan pemancingan yang direkomendasikan oleh Data. Karena penasaran akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencoba “tantangan” memancing sekaligus mencicipi masakan ala Ledok Gebang.

Memancing memang bukan hobi saya, tetapi sesekali saya ingin mencoba sensasi memancing ikan. Saya terakhir kali memancing ikan adalah saat saya masih kelas 5 SD di sebuah sungai kecil bersumber dari Lereng Merbabu di Magelang, sudah sangat lama. Beberapa waktu yang lalu memang saya juga menjajaki memancing di Tambakboyo (salah satu bendungan dekat stadion Maguwoharjo) tapi hasilnya nihil. Kali ini saya memancing di kolam pemancingan Ledok Gebang. Ya, tempat yang sudah pasti ada ikannya. Saya pikir memancing di kolam ikan pasti mudah. Tapi karena saya sudah lama tidak memancing, jadilah memancing di kolam ikan adalah hal susah. Beberapa kali umpan saya hanya sekedar menjadi makanan gratis bagi ikan-ikan di kolam, tanpa ada ikan yang nyantol di kail.

Meski hasilnya tak terlalu banyak, rasanya sudah cukup kalau hanya untuk dimakan sendiri. Namun,sekarang berbeda ceritanya karena saya datang tidak sendirian. banyak teman yang ikut memancing. Karena hasilnya tidak cukup kalau untuk makan bersama, jadilah kami membeli ikan di resto (masih di tempat yang sama).

Menu di Ledok Gebang memang tidak semeriah (variasinya) dibandingkan dengan resto-resto terkenal di Jogja. Tetapi kalau hanya sekedar ingin menikmati suasana, Ledok Gebang adalah tempat yang sangat cocok. Air sungai yang jernih, suasana tenang, hawa yang sejuk dan nyaman, serta bangunan-bangunan bambu yang indah dengan arsitektur menawan menjadi kelebihan yang menurut saya sangat istimewa.

Soal harga makanan, Ledok Gebang jika dibandingkan dengan tempat-tempat pemancingan dan resto di Jogja menurut saya masih dalam kategori rata-rata bawah. Dalam artian masih banyak beberapa tempat lain yang agak lebih mahal meski selisih harganya tidak seberapa. Hasil pancingan ikan yang kita dapatkan pun bisa langsung dimasak di resto atau bisa juga dibawa pulang (tentunya ditimbang terlebih dahulu).

Untuk menuju Ledok Gebang bukan hal mudah, terlebih bagi orang yang belum mengenal jalan-jalan di daerah Jogja secara mendalam. Sebenarnya Ledok Gebang tidak terlalu jauh dari tempat terkenal di Jogja, stadion Maguwoharjo. Bila memang tidak tahu sama sekali dan ingin kesana, ada baiknya yang pertama kali ditanyakan begitu sampai di Jogja adalah Stadion Maguwoharjo. Setelah sampai di Stadion tanyalah ke warga di sekitar Stadion lokasi “Perumahan Candi Gebang” (bukan perumahan Candi Indah). Begitu sampai di perumahan Candi Gebang baru tanya tentang “Pemancingan Ledok Gebang”, orang-orang yang tinggal di sekitar perumahan Candi Gebang pasti mengenal tempat ini.

Secara keseluruhan Ledok Gebang Fishing and Resto adalah tempat yang saya rekomendasikan bagi teman-teman yang memiliki hobi memancing. Secara kuliner pun makanan-makanan di Ledok gebang layak dinikmati. Alasan utama saya merekomendasikan Ledok Gebang adalah suasana yang sangat menyenangkan, suasana tenang, ssejuk, nyaman, dan tata bangunan yang indah.

Ya, saya rasa kata-kata indah di bawah ini yang saya kutip dari sang pemilik memang benar adanya.

Aku terbangun oleh kicau burung yang saling bersahutan tadi pagi, udara begitu dingin menggigit tulang, nampaknya musim kemarau telah menjelang. Kubuka tirai jendela pondok bambu dimana aku terlelap semalam bersama kekasih hati. Dan wow…. tepat didepan jendela ….. serumpun teratai menyambutku dengan penuh ceria, segar bermandikan embun. Awal yang hebat, semoga hari ini penuh keceriaan, penuh kesegaran, penuh keindahan. Seceria, sesegar, seindah teratai.

– Ledok Gebang Fishing and Resto

Salam September Ceria…

Tawangsari, 5 September 2012

Mengapa Nokia Sejak Pertama? Mengapa Selalu Menarik?

Saya adalah pengguna fanatik ponsel Nokia. Ponsel pertama saya Nokia 3315, kemudian Nokia 3100, dilanjutkan Nokia C6, Nokia C1-01, Nokia Lumia 625, dan sekarang Nokia Lumia 930. Sesekali memang saya pernah menggunakan ponsel Samsung N620, Sony Ericsson T100, dan Siemens M55. Namun, secara keseluruhan saya tidak pernah meninggalkan Nokia. Ponsel Samsung, Sony Ericsson, dan Siemens merupakan gawai cadangan.

Tahun 2004, pertama kali saya memiliki ponsel adalah masa-masa keemasan Nokia di Indonesia. Masa-masa keemasan ini berlanjut hingga tahun 2010 saat kemudian kejayaan Nokia mulai surut dengan hadirnya ponsel pintar Android. Nokia mengalami perkembangan teknologi signifikan ketika memasuki ponsel pintar berbasis Symbian dan kehadiran kamera ponsel. Tahun 2010, ketika kans Symbian mulai melemah, Nokia menjajaki penggunaan sistem operasi Windows Phone di jajaran ponsel pintarnya. Desain perangkat Lumia 800 –ponsel Windows Phone pertama Nokia– adalah ponsel “saduran” dari Nokia N8 –ponsel berbasis sistem Symbian-. Kenyataannya, Windows Phone tidak cukup kuat untuk membentengi Nokia dari gempuran ponsel berbasis Android.

Keunggulan kamera adalah kunci kebangkitan Nokia menghadapi gempuran Android yang baru disadari di kemudian hari. Teknologi PureView dan Lumia Camera menjadi counter attack Nokia dalam menghadapi lawan-lawannya, sekaligus menjadi jalan promosi gratis bagi Microsoft yang turut menyematkan Windows Phone dalam jajaran Nokia Lumia. Meski muncul optimisme kebangkitan Nokia, pada akhirnya Nokia tetap melepas hajat pengembangan ponselnya ke Microsoft.

Nokia Mobile Division kini berganti baju menjadi Microsoft Deviceskemudian menjadi Microsoft Mobility– meski sebenarnya untuk satu tahun pertama masih terasa nuansa Nokia di dalamnya. Pengembangan Microsoft Devices pun menjadi lebih fokus pada perangkat lunak dan sistem operasi untuk jajaran ponsel Lumia.

Meski tidak terlalu banyak “kreasi” Microsoft Mobility untuk jajaran Lumia di sisi perangkat keras ponsel, tetapi dari sisi perangkat lunak Microsoft menghadirkan perkembangan signifikan untuk sistem operasi Windows Phone yang tentu saja berimbas ke jajaran ponsel Lumia. Microsoft menghadirkan teknologi yang belum pernah dihadirkan di sistem operasi lain sembari melengkapi teknologi yang telah teraplikasikan di sistem lain pada Windows Phone yang dikembangkannya.

Keunggulan PureView dan Lumia Camera masih menjadi andalan Microsoft Mobility dalam penjualan ponselnya. Ditambah lagi dengan kemampuan Windows 10 for Mobile yang mulai menjadi bahan pembicaraan berkat kehadiran Continuum yang mampu menjadikan ponsel layaknya komputer desktop. Lumia dengan Windows Phone selalu tampil berbeda dari ponsel bersistem operasi lain. Sebut saja untuk desain tampilan sistem operasi Android dan iOS yang grid base icon pada home screen maupun menu aplikasi kini mulai terasa sebagai “masa lalu”. Tentu bukan itu saja yang menjadikan Windows Phone berbeda.

Mengikuti perkembangan Nokia, Microsoft, Windows Phone, dan Lumia adalah sesuatu yang menarik bagi saya sebagai pengguna ponsel Nokia sejak pertama.

Menyemangati Diri untuk Ngeblog

Saya pernah merasa bahwa ngeblog merupakan sesuatu yang out dated, pasalnya saya merasa kehilangan partner. Cukup lama saya absen dari menulis (satu bulan hanya satu post) karena sekitar tahun 2012 saya ‘kehabisan’ teman ngeblog. Kiblat saya dalam blogging semisal kang Andy Marsudiyanto (KeCAKOT), Kang Ciwir (Kaum Biasa), Mbak Emi (Cemani), atau blogger yang sejaman pada tahun-tahun itu blog-nya mulai jablay. Efeknya tentu saja interaksi dengan mereka menjadi berkurang. Saya mulai kehilangan nyawa dalam hal kepenulisan. Terlebih lagi kemudian saya selesai sekolah, hampir sama sekali tidak menyentuh ranah kepenulisan. Lengkap sudah alasan saya untuk magrok (berhenti – JW) ngeblog.

Pertengahan tahun 2015 ini, meski sudah beraktifitas (bekerja) saya tergugah dan merasa perlu untuk beraktifitas kembali mengembangkan kemampuan diluar kemampuan yang pakem segawean (sesuai pekerjaan – JW). Timbul keinginan untuk kembali menghidupi blog dengan memberi asupan tulisan.

Pilihan saya ngeblog kembali bukan sesuatu yang ujug-ujug (tiba-tiba – JW) datang begitu saja. Pertimbangan saya adalah rasa eman (sayang – JW) kalau kebiasaan baik –semoga memang sebuah kebaikan– yang pernah saya jalani itu terhenti begitu saja, menghasilkan konten positif. Dalam beberapa kesempatan saya dipertemukan dengan blogger kenalan baru semacam Andri Keriting dan Kokoh Ahmad yang kemudian membuat saya merasa punya teman ngeblog lagi. Ditambah lagi, Mas Nanang yang meski menurut saya seolah tidak punya teman, masih sangat konsisten dalam hal tulis-menulis. Tak elok kalau masalah teman dijadikan alasan.

Menulis memang mudah, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya. Seringkali ada benteng-benteng ketidakpercayaan diri yang membuat tulisan magrok menjadi draft atau bahkan masuk recycle bin. Pertimbangan rasa tidak pantas, tulisan wagu (aneh – JW), atau tulisan jelek kemudian saya kesampingkan.

Kalau bukan SARA, bukan SARU (tabu – JW), dan bukan pencemaran nama orang lain, selama konten positif – ya posting aja.

Cara saya supaya bisa terdorong untuk menghasilkan tulisan sederhana saja, berinteraksi meninggalkan jejak –komentar– di blog orang lain yang aktif menulis. Saya masih mempercayai ada blogger yang ngeblog dengan hati tetap akan berinteraksi balik dengan berkunjung ke blog si pemberi komentar, juga tujuannya untuk berinteraksi.

Saya merasa janggal kalau saya meninggalkan komentar ketika saya sendiri belum menghasilkan tulisan baru. Masak iya pas dikunjungi balik isi tulisannya masih sama. Ndak malu apa?

Thanks To Life

Thanks to life, which has given me so much. It gave me two beams of light, that when opened. Can perfectly distinguish black from white. And in the sky above, her starry backdrop. And from within the multitude. The one that I love.

Thanks to life, which has given me so much. It gave me an ear that, in all of its width. Records night and day crickets and canaries. Hammers and turbines and bricks and storms. And the tender voice of my beloved.

Thanks to life, which has given me so much. It gave me sound and the alphabet. With them the words that I think and declare: “Mother,” “Friend,” “Brother” and the light shining. The route of the soul from which comes love.

Thanks to life, which has given me so much. It gave me the ability to walk with my tired feet. With them I have traversed cities and puddles. Valleys and deserts, mountains and plains. And your house, your street and your patio.

Thanks to life, which has given me so much. It gave me a heart, that causes my frame to shudder. When I see the fruit of the human brain. When I see good so far from bad. When I see within the clarity of your eyes.

Thanks to life, which has given me so much. It gave me laughter and it gave me longing. With them I distinguish happiness and pain. The two materials from which my songs are formed. And your song, as well, which is the same song. And everyone’s song, which is my very song.

Thanks to life…

Gracias a la vida que me ha dado tanto
Me dio dos luceros que cuando los abro
Perfecto distingo lo negro del blanco
Y en el ancho cielo su fondo estrellaDo
Y en las multitudes el hombre que yo amo

Gracias a la vida que me ha dado tanto
Me ha dado el sonido y el abecedario
Con el las palabras que pienso y declaro
Madre amigo hermano y luz alumbrando
La ruta del alma del que estoy amando

Gracias a la vida que me ha dado tanto
Me ha dado la marcha de mis pies cansados
Con ellos anduve ciudades y charcos
Playas y desiertos montanas y llanos
Y la casa tuya tu calle y tU patio

Gracias a la vida que me ha dado tanto
Me dio el corazon que agita su marco
Cuando miro el fruto del cerebro humano
Cuando miro el bueno tan lejoS del malo
Cuando miro el fondo de tus ojos claros

Gracias a la vida que me ha dado tanto
Me ha dado la risa y me ha dado el llanto
Asi yo distingo dicha de quebranto
Los dos materiales que forman mi canto
Y el canto de ustedes que es el mismo canto
Y el canto de todos que es mi propio canto

Source Lyric: http://bit.ly/qootUJ

Sukartini, Hutang Wanita Terdampak Globalisasi

Sukartini adalah seoarang perempuan desa yang cukup beruntung bisa kuliah di universitas favorit di ibukota. Tempat tinggal orang tua Sukartini cukup mentereng diantara rumah-rumah lain di desanya. Maklum, bapaknya seorang mantan polisi dan ibunya seorang guru. Bandingkan dengan tetangga-tetangga sekitar yang kebanyakan buruh tani dan beberapa lainnya adalah supir angkutan umum.

Semasa kecil Sukartini sekolah di sekolahan tepat di tengah desanya. Teman-teman Sukartini memanggilnya Kartini, atau hanya Tini saja. Kartini secara akademik cukup menonjol diantara teman-teman sekelas. Selain pintar, paras cantik Kartini kecil menarik perhatian banyak pemuda-pemuda desa, bahkan cukup terkenal seantero kecamatan. Karena kepintaran dan tentu saja orang tua yang masih kuat untuk ngragati (membiayai), Kartini bisa melanjutkan sekolah SMA di SMA favorit kota, sebuah sekolah negeri yang cukup jauh dari desanya.

Kartini selama sekolah SMA masih nglaju dari rumahnya. Kadang Kartini dijemput bapaknya kalau ada kegiatan sekolah sampai sore. Meski dulunya berasal dari sekolah pedesaan, Kartini tetap berprestasi di SMA. Tini, begitu teman-teman SMA memanggil Kartini. Tini nyabet piala dalam beberapa kejuaraan yang diselenggarakan hingga tingkat Nasional. Selain prestasinya, Tini juga kebetulan aktif di organisasi dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Tak ayal, Tini ditunjuk menjadi duta anti narkoba dan anti pergaulan bebas di tingkat kota.

Sementara Kartini sekolah SMA, kebanyakan teman-teman kecilnya sudah banyak yang menikah dan ngemong anak. Ya, di desa tempat tinggal orang tua Kartini sudah lumrah perempuan menikah di usia yang relatif muda. Kartini yang mendapatkan pelajaran biologi di sekolahan turut menyebarkan hasil belajarnya mengenai resiko nikah muda kepada teman-temannya di kampung. Cukup lumayan, beberapa teman kecilnya mengambil sikap seperti Kartini untuk tidak menikah di usia muda. beberapa temannya memilih untuk bekerja terlebih dahulu sambil sekolah kejar paket C.

Setelah lulus SMA dengan prestasi gemilang, Tini berkeinginan untuk melanjutkan kuliah. Namun, orang tuanya berkehendak lain. Orang tua Tini berkeinginan supaya anaknya bekerja terlebih dahulu. Tini pun sambat kepada guru-gurunya di sekolah. Orang tua Tini pun akhirnya mau menyekolahkan Tini ke jenjang universitas setelah dibujuk oleh wali kelas Tini yang mendatangi rumahnya.

Tini berhasil masuk ke universitas terkenal di ibukota meski bukan universitas negeri. Teman baru Tini berasal dari seluruh penjuru tanah air Indonesia. Di ibukota, Tini tinggal di rumah kontrakan hasil patungan bersama beberapa teman kuliahnya. Tinggal di ibukota jauh sangat berbeda dibandingkan ketika Tini tinggal di desa. Pusat perbelanjaan dan pusat hiburan sangat banyak, kontras dengan di desanya yang hanya ada empat warung klontongan dan beberapa channel televisi lokal sebagai hiburan utamanya.

Tini ibukota sudah berubah. Gempuran-gempuran informasi dari berbagai penjuru dunia membuat Tini kalap. Mulanya Tini hanya sekedar membaca artikel-artikel tentang seorang aktris idolanya. Segala informasi mengenai aktris idola selalu diperolehnya paling awal. Tini mulai mengikuti gaya berpakaian sang aktris, selanjutnya gaya hidup aktris mulai ditirunya. Singkatnya, Tini mengidolakan aktris secara berlebihan.

Cara berpakaian Tini telah berubah, sekaligus mengubah gaya hidup Tini. Koleksi pakaian Tini cukup lengkap dibandingkan teman-teman sekontrakannya. Kecuali kuliah, kemanapun Tini pergi selalu memakai celana pendek dan kaus ketat semi transparan layaknya sang aktris idolanya. Gaya hidup Tini yang sedemikian boros membuat orang tua Tini kehabisan akal untuk membiayai hidup Tini di ibukota, terlebih lagi Tini menuntut orang tua supaya membelikan kendaraan untuk dirinya.

Keadaan semakin berubah ketika orang tua Tini tak mampu lagi membiayai kebutuhan gaya hidup Tini di ibukota. Tini harus mencari tambahan untuk menunjang gaya hidupnya, kiriman orang tua Tini sekedar cukup untuk makan dan biaya kuliah. Tini mencoba melamar kerja paruh waktu di beberapa perusahaan swasta. Tak satu pun perusahaan nyantol dan mau menerima Tini. Atas desakan teman-temannya, Tini mengubah namanya menjadi Tenny. Nama Tini, Kartini, ataupun Sukartini terlalu kuno dan tidak laku di dunia marketing, begitu menurut teman-temannya. Tenny –nama Sukartini di ibukota– bekerja paruh waktu di sebuah pusat hiburan malam sebagai bartender wanita pertama di kelab malam itu. Bayaran yang diperolehnya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan membayar kuliah.

Tenny akhirnya mengutarakan supaya orang tuanya tidak lagi memberi kiriman untuk dirinya, Tenny sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Orang tua Tenny cukup lega mendengar apa yang diutarakan Tenny, orang tua Tenny tinggal memfokuskan adik Tenny yang sedang mengerjakan skripsi dan hampir lulus kuliah di universitas tak jauh dari tempat tinggal orang tuanya.

Singkat cerita Tenny di ibukota memilih berhenti kuliah tanpa sepengetahuan orang tua. Tenny memilih bekerja full time di pusat hiburan malam, tetap sebagai bartender wanita demi memenuhi gaya hidupnya. Adiknya setelah lulus bekerja di sebuah perusahaan IT multinasional dengan posisi yang cukup mapan sebagai branch manager. Orang tua Tenny di desa masih menunggu Sukartini diwisuda sebagai seorang Ahli Madya.

Tenny meski belum menikah kini hidup berkecukupan di ibukota dengan meninggalkan hutang kepada orang tuanya sendiri, hutang lulus kuliah.


*) Sukartini, Tini, dan Tenny dalam cerita bukan nama sebenarnya.
**) Bila terjadi kesamaan nama dan kejadian di tempat lainnya, niscaya hanyalah sebuah ketidaksengajaan.
***) Gambar ilustrasi diambil dari Flickr-nya DC Master.