FTSC – Fun Teenagers Study Club

Giliran saya bahas mengenai pekerjaan malam saya (ojo nekting sik). Lha opo sangkut paute karo blog? Pikiren dhewe.

Rekonsiliasi? Apa sih itu? Rekonsiliasi kalau gak salah bisa diartikan sebagai penyusunan kekuatan kembali, bala-bala edan ngumpul bareng rembugan. Sudah hampir enam bulan saya rodo aktif menjadi sukarelawan ngajar di panti asuhan. Lha kok namanya sukarelawan? Soalnya saya ngajar cuma karena saya suka aja. Nek gak suka ya cukup disebut relawan (rodo kepekso). Saya ndak peduli kok mau diitung perbuatan baik atau ndak sama sampeyan. Sing penting aku lak seneng. Kok seneng? Ya seneng soalnya di panti asuhan ini saya merasa berguna, merasa dibutuhkan, termasuk ilmu yang saya dapet (meskipun sedikit). Wis lah mung iso pipolondo (perkalian-pembagian-penjumlahan-pengurangan) yo rapopo. Nek jarene sunnah Kanjeng Rasul (maneh) bagilah ilmu yang kau miliki walaupun sedikit. Lha saya punya cuma dikit, itu aja dikasih ama Gusti Allah. Piye jal?

Sampeyan ndak usah bilang: Mas nek sombong karo pamer mengko amalmu ra ditompo lho. Lha kowe ki sopo kok ndhisik-ndhisiki petungan amalku tinimbang Gusti Allah. Wong sing ngerti petungan amalku yo mung Gusti Allah. Tapi nek ada yang bilang langsung ndak bakalan saya jawab seperti itu kok. Saya cuma mau publikasi aja kalau teman-teman FTSC lagi kekurangan tenaga pengajar. Siapa tau ada yang pengen sesekali berperilaku menjadi manusia sosial, ojo mung material karo akademis thok ndak ra payu sampeyan. Urip kuwi Urap, Urup, lan Arep (pinjam istilahnya Cak Nun tanpa ijin).

Sebenarnya saudara-saudara saya (yang tergabung dalam FTSC) sudah mulai ngajar di panti asuhan hampir dua tahun (lumayan suwe lah). Awalnya saya cuma diajak sama Mbak Erfi buat iseng-iseng ikut ngajar di panti. Yo wis lah teko melu wae, timbang nang kost plenggang-plenggong. Ternyata panti yang dimaksud adalah panti asuhan yang dulu saya pernah kesana bareng teman-teman Geofisika. Panti Asuhan Putra Muhammadiyah di jalan Taman Siswa. Saya sendiri kalau ditanya nama panti asuhan-nya ya ndak tau. Pokoknya saya seneng, ra peduli kuwi nang ndi.

FTSC ki opo to mas? FTSC itu kumpulan cah rapatek waras yang masih dengan senang hati (dan pikiran) sinau bareng adek-adek di panti asuhan. Kenapa ra waras? Ra waras karena mosok to jaman sekarang masih ada yang mau ngajar gak dibayar. Anggotanya (yang tercatat) ada 26 orang. Yang dari UGM 25 orang (rasah disebutke), sisanya Mas Faqih dari UPN (Pertambangan lho). Ngajar tiap malem Rabu dan malem Kamis.

Tiap pengajar dapet satu kelompok bimbingan (sekitar 6 anak) dan seminggu dapet satu kali ngajar. Bisa milih Rabu, bisa juga Kamis. Tahun ajaran kemaren sih tenaga 26 orang sudah cukup menghadapi jumlah anak-anak dari panti. Tapi untuk tahun ini jadi sedikit kekurangan tenaga (sukarelawan) karena jumlah penghuni panti juga bertambah. Apa yang membuat teman-teman tetep semangat? Tahun ajaran kemaren pihak panti sedikit pesimis hanya dengan mentargetkan 80% anak asuhnya lulus ujian akhir. But its surprise, ternyata dengan program pendampingan belajar bersama teman-teman FTSC dan tentunya semangat adek-adek kami di panti tahun ajaran kemaren bisa lulus 100%. Dari pengalaman ini, teman-teman bisa menyimpulkan kalau sekarang pastinya pihak pengelola panti makin menaruh harapan kepada teman-teman FTSC. Apapun itu, yang penting seneng. Sesuai dengan namanya, Fun Teenagers Study Club.

Cahandong Mbatik

Mbatik disini bukan membuat batik lho, maksudnya kopdar spesial memakai batik sebagai bentuk ndherek bungah karena 2 Oktober 2009 dunia mengakui batik sebagai warisan budaya dunia. Ngomong-ngomong masalah batik, saya di rumah punya banyak tapi sialnya yang terbawa ke Jogja cuma dua lembar (koyo dhuwit wae). Yo wis lah sak anane wae. Kopdar ini memang spesial karena pertama kalinya saya ikutan kopdar Cahandong (insyaallah istiqomah atawa konsisten). Selain gara-gara kopdar pertama itu sendiri, kebetulan tempatnya juga spesial.

Lho ono opo karo papan panggonan kopdar? Lak yo podho karo kopdar biyasane to?

Cahandong (CA) menyebutnya titik nol. Sampeyan yang nguri-uri matematika tentu saja ini sesuatu yang spesial. Karena nol ini dalam perkalian dan pembagian bisa menjadikan segala sesuatu menjadi tidak bernilai, tapi juga menjadi bernilai sampai takhingga. Saya yakin haqqulyaqin teman-teman CA ini pengenya punya nilai bagi orang-orang dan segala sesuatu di sekelilingnya, termasuk bangsa ini.

Titik nol juga sebagi titik batas pemisah antara nilai bilangan positif dan negatif. Artinya CA ini bisa menjadi penengah dan mandegani urusan-urusan konflik antara dua kubu yang saling bertentangan, CA ini moderat tetapi tetap pemisah. Terbukti CA bisa tetep eksis di titik nol meski banyak orang berkepentingan disana.

Nol sebagai awal permulaan segala sesuatu, sebagaimana teori big bang-nya orang fisika, jagad raya ini ada dari sesuatu yang tidak ada (antara antimateri dan materi). CA sebagai salah satu sumber awal mula ide-ide dan gagasan besar muncul, meski kadang sekedar gojegan wong kere tapi dari yang sekedar gojeg kere itulah ide-ide dari bawah bisa muncul secara terbuka, blak-blakan, tanpa tedheng aling-aling.

Di Jogja sendiri sebagian besar perhitungan kilometer dari jalan raya dimulai dari titik nol ini. Silahkan sampeyan perhatikan, mulai dari angka berapa kilometernya jalan Kaliurang, Monjali, Cik Di Tiro? Gak ada kan Jakal kilometer nol, Monjali kilometer nol, Cik Di Tiro kilometer nol? Ya itu tadi angka nol dimulai dari titik nol tempat CA biasanya mangkal.

Sampai TKP (titik nol) byar… Padhang welate. Kedatangan saya sudah disambut para pangeran bersama pira-pira widodari (sirahe tambah gedhe ki) penuh persahabatan, sumringah, nyedulur. Kalau ada menu yang mirip di facebook, pasti saya langsung klik like this. Sayang sekali gak ada.

Saya ini nubie jadi ya datang gak langsung mencak-mencak. Mengamati kondisi, model, dan arah pembicaraan. Setelah sekitar lima menit baru saya berani urun cariyos ngobrol dengan beberapa orang di belakang singgasana CA. CA yang katanya udah menguasai singgasana titik nol ternyata gak sendirian, masih ada beberapa orang pinggiran yang ternyata lebih dulu jadi penguasa titik nol. Salah satunya tukang becak, sebut saja pak Giyanto sudah sekitar enam tahun mangkal di area titik nol. Berarti selain saya nyedhaki CA saya juga nyedhaki para tukang becak, biar sama-sama nyaman menempati ruang publik di titik nol itu. Toh gak ada ruginya punya kenalan baru, punya sedulur baru. Minimal nerapke sunnah Kanjeng Rosul yang menganjurkan untuk menyambung tali silaturahmi. Iya to?

NB: Nek ono klirune tulung dikoreksi, nek bener yo alhamdulillah, nek ngrewo yo dingapuro. Iki mung carita lan ide saka pangarso blog ing sawijining dina.

Subduksi

Jika dilihat dari peta penyebaran gempa di Indonesia (silahkan lihat di website resmi BMKG), kebanyakan sumbernya berada di subduction zone (zona subduksi). Zona subduksi terjadi ketika lempeng samudra bertabrakan (pergerakan tektonik lempeng) dengan lempeng benua, dan menelusup ke bawah lempeng benua. Lempeng litosfer samudra mengalami subduksi karena memiliki densitas yang lebih tinggi. Lempeng ini kemudian mencair dan menjadi magma.

Tabrakan antar lempeng selain menimbulkan gaya gesek juga mengakibatkan adanya zona subduction interface yang menyimpan energi potensial sangat besar. Ketika batas elastisitas lempeng terlampaui akan terjadi fraktura (retakan) atau patahan yang biasanya diikuti terjadinya gempa sebagai akibat pelepasan energi potensial. Pusat gempa tektonik tidak harus sepanjang garis permukaan zona subduksi, bisa terjadi sepanjang luasan kontak gesekan antar lempeng sehingga pusat gempa tidak selalu di lautan.

Mengapa lempeng-lempeng benua bisa bertabrakan? Apa yang membuatnya bergerak? Telusuri kelanjutannya….

Wonolelo Magelang

Wonolelo, secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Magelang di wilayah penghubung antara Gunung Merbabu dan Merapi. Bumi Perkemahan sendiri terletak tepat di pinggir sungai pembatas antara Merapi dan Merbabu. Merupakan secuil tanah lapang dari pertemuan dua aliran sungai. Bukan tempat istimewa bagi para pecinta alam karena kurang menantang dan memang letaknya tidak di ketinggian yang cukup. Tapi untuk tempat kegiatan kepramukaan sekolah, makrab, atau yang sejenis merupakan tempat yang menarik untuk diperbandingkan dengan bumi perkemahan di tempat lainnya.

Jalan menuju lokasi perkemahan cukup mudah jika menggunakan sepeda motor, tetapi tidak tepat jika memutuskan menuju tempat ini dengan mobil. Lebih baik tidak menantang maut melewati jalan sempit tepat di bibir jurang, sisi jalan rusak dan ada beberapa yang longsor. Cukup jauh jika berjalan kaki dari jalan utama Magelang-Boyolali over Selo, sekitar satu kilometer dari tempat yang masih bisa dijangkau mobil. Dari Ketep harus menempuh jalan aspal sekitar tiga kilometer untuk mencapai gapura Wonolelo di kanan jalan, letaknya tepat di tikungan sebelum tempat peristirahatan di wilayah Wonolelo.

Background puncak Merapi, tebing-tebing tinggi, dan aliran sungai yang masih jernih menjadikan buper ini menarik, seolah-olah merupakan tempat yang terisolir dari keramaian. Untuk acara outbond ataupun tracking bisa dimulai dari Ketep, menyusuri jalan kecil, areal perkebunan dan menyusuri bibir jurang. Bisa juga dimulai berjalan dari stasiun pengamatan Babadan berjalan sekitar tiga kilometer melewati hutan, menyusuri tebing, menyeberang sungai.

Saya pernah satu kali menginap di buper Wonolelo ini. Tidak terlalu dingin di malam hari jika dibandingkan dengan buper sekitar Curug Silawe. Yang perlu diperhitungkan jika ingin mendirikan tenda di Wonolelo adalah arah angin yang sering kali berubah dan susah ditebak. Wajar karena memang buper ini terletak di lembah antara dua gunung, pertemuan dua aliran sungai, dan dataran terbuka.

Wonolelo adalah tempat favorit dan langganan untuk acara pramuka maupun makrab bagi beberapa institusi di wilayah Magelang, Boyolali, dan Yogyakarta.

Sobo Wono

Sebagaimana telah banyak diungkap di media tentang keindahan alam Wonosobo, saya mencoba untuk ketiga kalinya ke Wonosobo dan menikmati keindahan Alam karunia Sang Hyang Agung. Beberapa hari yang lalu bersama beberapa Bala Tidar dalam acara Wisata Blogger 2009 dipunggawai oleh Sahabat Blogger Wonosobo, inilah wisata ketiga di Wonosobo. Sayang sekali saya tak sempat mengikuti rangkaian acara dari pagi, sebab memang saya bersama Bala Tidar berangkat dari Magelang sudah sekitar jam 09.00 WIB. Saya memulai kegiatan bersama beberapa Blogger lain setelah Sholat Jumat, acara makan-makan.

Perjalanan Wisata setelah makan siang dimulai, pertama menuju pusat pengrajin batik di Talunombo Kecamatan Sapuran. Perjalanan yang sangat berat karena harus melalui jalan rusak parah layaknya gulo kacang. Tapi sampai di Talunombo, semua perjalanan berat terobati dengan sambutan perangkat desa di Talunombo, bukan sambutan yang meriah tapi dengan keramahan dan senyum yang semanak won ndeso itu cukup mengobati beratnya perjalanan.

Ketika kebanyakan Wirablogger terfokus pada kerajinan batik dan mendong, saya lebih tertarik pada deretan trophy di pojok balai desa. Salah satunya Juara III Perpustakaan Desa/Kelurahan se-Wonosobo. Disinilah saya mulai menyelidiki keberadaan perpustakaan Warga, bukan karena juara tiganya tetapi karena Bala Tidar sebenarnya juga sedang merilis Perpustakaan Warga di Dusun Ngampon yang kondisinya hampir mirip dengan Talunombo, jauh dari peradaban kota.

Perjalanan berlanjut kembali menuju penginapan yang oleh panitia sudah difasilitasi full hotspot persembahan dari telkom speedy yang katanya bandwith hingga 6Mbps (haiyah mbelgedhes). Selanjutnya menuju kolam pemandian air hangat, tapi saya tidak ikut nyemplung. Setelah sholat maghrib, perjalanan wisata berlanjut Saresehan di pendopo kabupaten Wonosobo. Ada satu kemiripan antara Alun-alun Wonosobo dengan Alun-alun Kota Magelang. Memiliki Ringin-Tengah, yang di Magelang oleh Bala Tidar dijadikan sebagai titik temu dan pangkalan kopi darat.

Dimulai dengan makan malam dilanjutkan acara santai walau semi formal. Bupati Wonosobo sendiri berpakaian santai, berbeda dengan para muspida lainnya yang resmi saklek. Yang menarik bagiku adalah ketika Sing Mbahurekso Wonosobo berduet nyanyi bareng Mbak Shita, meriah dan kompak. Benar-benar bupati yang gaul dan adaptif terhadap situasi. Bahkan ketika Mbak Shita keceplosan ngomong modar yang bagi sebagian orang khususnya wilayah Kedu adalah kata kasar, Pak Bupati yo mung mesam-mesem. Oh ya, Pak Bupati itu dulu penggiat pers lho.

Perjalanan Wisata hari pertama berakhir disini. Berlanjut ke hari kedua. Berawal mulai jam tiga pagi dimana ketika itu udara begitu dingin mbalung sungsum. Menuju dieng melihat golden sunrise dan silver sunrise. Aku sedikit berbeda dari yang lain. Ketika yang lain memakai sandangan komplit plus sarung karena saking dinginnya, saya hanya memakai celana jeans dan kaos oblong, tentu ini memperkuat identitas embel-embel Pendekar Tidar (konon sakti mandraguna).

Sebelum pamitan pulang, Mas tyovan dan sahabat blogger Wonosobo memberi kenang-kenangan berisi Carica dan Kopi Purwaceng. Lha nek aku Purwaceng meh nggo opo? Malah muspro to?

Whatever, Terimakasih Wonosobo….