Tumpeng Buku

Tumpeng atau gunungan oleh sebagian orang Jawa diisyaratkan sebagai wujud rasa syukur seseorang atau sekelompok orang atas karunia yang diberikan Tuhan kepadanya. Kalau umumnya tumpeng itu dari nasi kuning, pas mitoni pake tumpeng nasi putih, Bala Tidar punya tumpeng gethuk, grebeg sekaten punya tumpeng buah-buahan, di Candimulyo ada tumpeng padi, kali ini Realino punya tumpeng buku.

Hari Kamis lalu yang katanya hari buku nasional (atau internasional ya?) saya secara tidak sengaja dolan diajak Pak Gunawan (Rumah Pelangi) ke MCR (Multiculture Campus Realino) di Kampus I Sanata Dharma, katanya hari itu mau ada tumpengan buku buat peringatan hari buku sekaligus hari kebangkitan nasional.

Sedianya acara dimulai jam 13.00, namun sebelum acara dimulai Jogja diguyur hujan lebat yang mau tak mau acara pun ditunda hingga hujan reda. Akhirnya acara pun dimulai jam 14.00 diawali sedikit penyemangat dari sing mbahurekso realino dilanjutkan dengan sepatah-patah paragraf dari sing duwe gawe, dan berlanjut dengan arak-arakan tumpeng buku diiringi kesenian jathilan oleh anak-anak setingkat SD-SMP, sekaligus disertai membagi-bagikan buku di sepanjang jalan sekeliling kampus Sadhar I.

Gelo rasanya ketika sampai di Realino saya tidak bawa kamera saku, hape pun itu sudah lowbat wal hasil cuma dapat satu jepretan kuwur dari hape 6070.

Wis pokoke ge ndang dipindah, upload, posting, bar….

* Mohon maaf reportase telat, nunggu poto dipindah dari hape 6070 yang cuma punya koneksi infrared.

Kenduri di Kantor Pos

Kilometer Nol Yogyakarta adalah sebuah aksen tersendiri bagi Jogja di malam hari, apalagi dengan semakin dipopulerkan oleh cahandong.org melalui juminten-nya, kilometer nol menjadi sebuah tempat “nyaman” untuk menghabiskan malam lek-lekan. Kali ini pun, masih dalam rangkaian acara selikuran saya bersama konco-konco mBlumbang plus satu orang njajal urip wengi di kilometer nol.

Mereka adalah konco mBlumbang sak bergodo. Aad yang dari awal sudah pasang tampang nggembel. Merza yang kalau gak nebeng gak mau. Faqih dengan tampang klasiknya (jadul-red.). Septian sebagai yang dituakan oleh konco mBlumbang (karena memang paling tua). Reza sang ahli hisap tingkat tujuh. Bandoro Eko yang kemana-mana selalu pake kacamata kuda. Saya sendiri yang punya blog ini. Dan satu lagi penduduk non-mBlumbang, Mbak Erfi yang secara khusus nglegakke datang demi merayakan selikuran saya (doh).

Selikuran sebenarnya sudah berlangsung sedari pagi 25 April 2010. Pagi hari saya sudah dapat kejutan khusus dari Aurum Data yang bawa blackforest beserta uborampe-nya. Jadi paginya memang spesial yang pertama dari orang nomor satu di dekat saya. Tapi blackforest segede itu ya ndak bakal habis kalau cuma dimakan berdua. Jadi ku sisihkan sebagian (besar) buat konco-konco mBlumbang.

Sore hari sak bergodo mBlumbang sudah ada di mabes mBlumbang. Ditambah lagi ada Paklik Sedhot dari Sekawan Keblat Gangsal Pancer Magelang yang rencana sebenarnya ke JEC. Malam hari menjelang jam 21.00 konco mBlumbang kedatangan tamu Mbak Erfi yang beralasan minta dibuatin denah, padahal sebenernya mau ikut guyup selikuran.

Jadilah awalnya ada 9 orang, tapi malang tak dapat ditolak. Paklik Sedhot sudah dapat ultimatum dari sing mbahurekso agar segera pulang ke Magelang. Total menjelang jam 22.00 di mabes mBlumbang ada tujuh laki-laki dan satu perempuan. Setelah sedikit cawe-cawe acara di mabes baru menjelang jam 23.00 keluar cari angin sekaligus menikmati dedhaharan dari Pak Burger dan Tuan Kelik.

Dipilih kilometer nol bukan tanpa alasan. Kilometer nol adalah tempat yang pas buat guyub rukun, sarasehan, duduk melingkar menikmati kenduri cinta berjamaah dalam rangka selikuran. Acara kembul bujana ditutup dengan sesi foto-foto. Meski hanya bermodal dua kamera saku, itu pun kamera yang satu baterainya tak kuat menahan beban kerja, lowbat.

Matursuwun buat Septian, Eko, Aad, Reza, Merza, Faqih, Sedhot, dan Erfi atas kesediaannya menemani melewati malam yang mengagumkan.

Matursuwun Terimakasih Sedulur Sedulur

Mblumbang, 28 April 2010

Tutur Ing Ati, Tinular Ing Pakarti

Berawal pada tahun 2005, Rumah Pelangi beserta komunitas–komunitas lereng Merapi bermimpi mewujudkan area ramah anak (child friendly space), sebuah ruang fisik dan psikologis yang memberikan kesempatan anak–anak berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Jejaring ini menumbuhkembangkan kepekaan anak terhadap realita sosial, alam lingkungan, dan relasi antar manusia yang diwujudkan dalam rutinitas kegiatan. Salah satu media pembelajarannya melalui kesenian tradisi dimana terkandung nilai–nilai kepedulian, solidaritas, dan kebersamaan.

Pada tahun 2007 jaringan komunitas bersma–sama mengkampanyekan hak anak dalam bentuk hajat budaya TLATAH BOCAH (area ramah anak) bertemakan pentingnya pendidikan melalui kesenian. Kegiatan ini kemudian rutin diadakan setahun sekali selama liburan kenaikan sekolah dengan tema yang selalu berbeda. Tahun 2008 TLATAH BOCAH menyuarakan pemenuhan hak tumbuh–kembang anak dalam ”Nandur Woh, Ngangsu Kawruh” (Menanam Benih, Menimba Ilmu). Sedangkan tahun 2009 lalu, TLATAH BOCAH mengangkat hak perlindungan dalam rangkuman kegiatan “Bocah Dudu Dolanan, Bocah Kudu Dolanan” (Anak Bukanlah Mainan, Anak Wajib Bermain).

Seperti pada tahun–tahun sebelumnya penyelenggaraan TLATAH BOCAH tahun 2010 ini yang merupakan ke–4 kalinya akan mengadakan serangkaian kegiatan berupa workshop dongeng, sarasehan, pasar seni, workshop sablon, pemutaran film, festival seni tradisi, dan penggalangan buku. Tema yang diusung berupa pemenuhan hak pendidikan anak. Keterlibatan masyarakat bertambah dengan bergabungnya komunitas lereng gunung Sumbing dan pelosok perbukitan Menoreh.

Tema yang diangkat dalam Tlatah Bocah #4 ini adalah Pentingnya Dongeng Untuk Pendidikan Anak. Untuk mengejawantahkan dari tema yang diusung kali ini, kegiatan Tlatah Bocah diberi nama Tutur Tinular: Tuturing Ati Tinular Ing Pakarti.

Ini Twitternya TlatahBocah: http://twitter.com/tlatahbocah

Hajat Budaya Tlatah Bocah IV

Tutur Tinular dengan episode-nya Pedang Naga Puspa pernah menjadi salah satu film kolosal Indonesia yang berjaya di tahun 1989. Tutur Tinular menceritakan Arya Dwipangga seorang yang senang olah sastra, adiknya Arya Kamandanu senang bersilat. Pacar Kamandanu direbut oleh Dwipangga. Ia lari dan diperangkap masuk gua ahli senjata Empu Ranubaya dan dijadikan murid.

Ranubaya adalah kawan seperguruan Empu Hanggareksa, ayah Kamandanu. Tetapi dua empu ini bertolak belakang dalam sikap. Hanggareksa mengabdi raja Singasari, Kartanegara, Ranubaya tidak mau. Kertanegara kedatangan utusan Kubilai Khan dari Mongolia yang ingin menjalin hubungan damai. Tawaran itu ditampik. Utusan Mongolia kecewa dan pulang sambil menculik Empu Ranubaya.

Di Mongolia Empu Ranubaya sangat diperhatikan Kubilai Khan, dan membuat cemburu perwira tinggi lain. Mereka merencanakan melenyapkan Empu Ranubaya. Untung ada kelompok lain yang menyelamatkan Empu Ranubaya dan pedangnya, yaitu Lou dan istrinya Mei Shin, yang kemudian disuruh membawa pedang itu dan terdampar di Jawa. Pedang lalu diperebutkan para pendekar kerajaan Kediri yang baru saja dibangun menggantikan Singasari. Lou dan Mei Shin dibantu oleh Kamandanu. Lou meninggal. Mei Shin berniat balas dendam.

Tutur Tinular kini kembali hadir tetapi dengan format berbeda, bukan lagi sebuah film drama kolosal yang digawangi sutradara terkenal. Rumah Pelangi mengangkat tema Tutur Tinular dalam rangkaian acara Tlatah Bocah #4. Menurut Gunawan yang menggawangi Rumah Pelangi, Tutur Tinular, Tuturing Ati Tinular Ing Pakarti diambil sebagai nama acara Tlatah Bocah tahun ini sebagai lanjutan Tlatah Bocah tahun lalu yang membawa tema Bocah Dudu Dolanan, Bocah Kudu Dolan. Dari pertama kali Tlatah Bocah diadakan sudah direncanakan mengenai tema-tema yang diangkat di Tlatah Bocah selanjutnya selama lima tahun, dalam penjabarannya lebih lanjut Gunawan menggunakan istilah repelita untuk serangkaian acara yang sudah terpikirkan untuk Tlatah Bocah hingga pelaksanaan ke-lima.

Dalam konsepnya meski tidak secara detail menjelaskannya. Secara umum Tlatah Bocah tahun ini diisi dengan rangkaian acara penuh dongeng-mendongeng (pituturan) dan pentas seni yang kesemuanya melibatkan anak-anak. Rangkaian acara diisi dengan workshop dongeng, sarasehan, festival seni tradisi, pasar seni, workshop sablon, dan pemutaran film.

Membicarakan papat keblat limo pancer rasanya kurang jika tidak menyebutkan Merbabu dan Tidar. Ditanya mengenai keabsenan kedua lereng gunung itu, Gunawan menjelaskan secara teknis terlalu berat untuk menjalankan secara penuh jika ditambah dua lereng gunung tersebut, mungkin untuk tahun-tahun depan. Bahkan untuk tiga lereng gunung (Merapi, Sumbing, Menoreh –red) saja sudah agak repot saking banyaknya permintaan dari teman-teman di sekitaran tiga lereng gunung itu untuk dijadikan sebagai host. “Teman-teman sudah ngedan semangatnya”, begitu kata Gunawan.

Beberapa permintaan dari teman-teman di sekitar papat keblat limo pancer terpaksa harus ditangguhkan untuk tahun depan, “ben tambah ngedan disik”, canda Gunawan di sela-sela pembicaraan kami.

Dalam hal kreatifitas, Purnomo yang juga partisipan di Rumah Pelangi menggambarkan kreatifitas anak-anak jauh melebihi kreatiftias orang dewasa dengan mengibaratkan lewat pensil. Pensil di mata orang dewasa ya hanya buat nulis, paling pol ya cuma buat uthik-uthik upil. Tapi dalam imajinasi anak, sebuah pensil bisa menjadi pesawat terbang, mobil, kapal selam, juga bisa jadi senjata api.

Jadi, sampeyan mau ikut meramaikan?

Tlatah Bocah: Tutur Tinular

Berawal pada tahun 2005, Rumah Pelangi beserta komunitas–komunitas lereng Merapi bermimpi mewujudkan area ramah anak (child friendly space), sebuah ruang fisik dan psikologis yang memberikan kesempatan anak–anak berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Jejaring ini menumbuhkembangkan kepekaan anak terhadap realita sosial, alam lingkungan, dan relasi antar manusia yang diwujudkan dalam rutinitas kegiatan. Salah satu media pembelajarannya melalui kesenian tradisi dimana terkandung nilai–nilai kepedulian, solidaritas, dan kebersamaan.

Pada tahun 2007 jaringan komunitas bersma–sama mengkampanyekan hak anak dalam bentuk hajat budaya TLATAH BOCAH (area ramah anak) bertemakan pentingnya pendidikan melalui kesenian. Kegiatan ini kemudian rutin diadakan setahun sekali selama liburan kenaikan sekolah dengan tema yang selalu berbeda. Tahun 2008 TLATAH BOCAH menyuarakan pemenuhan hak tumbuh–kembang anak dalam ”Nandur Woh, Ngangsu Kawruh” (Menanam Benih, Menimba Ilmu). Sedangkan tahun 2009 lalu, TLATAH BOCAH mengangkat hak perlindungan dalam rangkuman kegiatan “Bocah Dudu Dolanan, Bocah Kudu Dolanan” (Anak Bukanlah Mainan, Anak Wajib Bermain).

Seperti pada tahun–tahun sebelumnya penyelenggaraan TLATAH BOCAH tahun 2010 ini yang merupakan ke–4 kalinya akan mengadakan serangkaian kegiatan berupa workshop dongeng, sarasehan, pasar seni, workshop sablon, pemutaran film, festival seni tradisi, dan penggalangan buku. Tema yang diusung berupa pemenuhan hak pendidikan anak. Keterlibatan masyarakat bertambah dengan bergabungnya komunitas lereng gunung Sumbing dan pelosok perbukitan Menoreh.

Tema yang diangkat dalam Tlatah Bocah #4 ini adalah Pentingnya Dongeng Untuk Pendidikan Anak. Untuk mengejawantahkan dari tema yang diusung kali ini, kegiatan Tlatah Bocah diberi nama Tutur Tinular: Tuturing Ati Tinular Ing Pakarti.

Ini Twitternya TlatahBocah: http://twitter.com/tlatahbocah