Sri Gethuk, Air Terjun di Kali Oyo

Sri Gethuk, saya rasa sudah cukup banyak orang yang membicarakan tentang air terjun di Gunung Kidul ini. Cukup banyak informasi bertebaran mengenai Sri Gethuk di jejaring sosial. Saya setelah sekian lama mengetahui adanya air terjun Sri Gethuk, baru hari Kamis 27 Desember 2012 ini bisa mengunjunginya. Air terjun Sri Gethuk merupakan air terjun dari anak sungai Oyo. Air terjun ini tepat berada di tepian kali Oyo, sungai besar yang melewati pinggiran Gunung Kidul. Tepatnya ada di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saya kurang begitu memperhatikan nama air terjun yang benar. Kadang ada orang yang menuliskan Sri Gethuk, Sri Getuk, Srigethuk, atau Srigetuk. Kurang tahu mana yang benar dan mana yang typo. Pada intinya nama-nama itu mengacu pada nama objek dan tempat yang sama.

Untuk menuju Sri Gethuk cukup dekat dari Yogyakarta. Lampu merah setelah lapangan terbang angkatan udara di jalan Wonosari belok kanan menuju kantor kecamatan Playen. Selanjutnya ikuti jalan yang menuju pantai Ngobaran sampai ketemu papan penunjuk jalan (di sebelah kanan jalan) Obyek Wisata Alam Air Terjun Sri Gethuk (sekitar 8 KM dari kantor kecamatan Playen). Dari papan penunjuk tersebut tinggal mengikuti jalan aspal sekitar 7 KM hingga ketemu pos retribusi.

Dari pos retribusi (retribusi Rp 5.000,00/orang) menuju obyek wisata Sri Gethuk masih harus berkendaraan sekitar 3 KM. Seratus meter pertama masih berupa jalan aspal, tetapi kemudian jalan masih berupa jalan tanah bebatuan sampai di Sri Gethuk. Dari parkir kendaraan sampai di obyek air terjun masih perlu berjalan sekitar 600 m, atau dapat ditempuh dengan menggunakan gethek bermesin dengan membayar Rp 5.000,00 sekali berangkat. Sampai di obyek air terjun, wisatawan bisa bermain di sekitar air terjun atau berbasah-basahan masuk ke aliran Kali Oyo. Jika khawatir tenggelam, pengelola menyediakan rompi pelampung dengan harga sewa Rp 5.000,00. Hampir segalanya serba Rp 5.000,00 kecuali untuk ruang ganti, dan berbagai makanan.

Dalam penilaian saya tentang obyek wisata ini, saya pikir obyek wisata ini sangat menarik bagi para penikmat wisata alam. Beberapa spot di sekitar Sri Gethuk merupakan objek fotografi yang tidak kalah menarik bagi penikmat fotografi. Untuk menikmati wisata Sri Gethuk saya menyarankan untuk berangkat dari tempat parkir menuju air terjun lebih baik jalan kaki kemudian untuk kembali ke tempat parkir baru naik gethek bermesin. Pejalan kaki akan disuguhi beberapa air terjun kecil selama perjalanan yang masing-masing air terjun memiliki ciri khas yang berbeda.

Wisata Sri Gethuk jika dijadikan sepaket dengan goa di dekat Sri Gethuk, kemudian pantai Ngobaran-Ngrenehan, dan sentra kerajinan perak tentu akan menjadi paket wisata yang cukup menarik. Wisata air terjun, wisata sejarah, wisata pantai dan wisata kuliner, serta wisata oleh-oleh.

Pengelola obyek wisata Sri Gethuk adalah Badan Usaha Milik Desa Bleberan. Semua fasilitas merupakan fasilitas yang disediakan orang-orang desa Bleberan. Tentu saja jalan aspal merupakan pengecualian karena pengaspalan jalan merupakan bagiannya dinas pekerjaan umum. Pemasukan dari penyelenggaraan wisata Sri Gethuk masuk ke kas desa untuk berbagai keperluan desa dan pengembangan obyek wisata itu sendiri.

Masih obyek yang sama tetapi dalam sudut pandang yang berbeda, Kali Oyo memiliki rekam nama yang cukup terkenal bagi penggemar geosains. Ya, kali Oyo dijadikan nama sebuah sesar besar yang berada di pulau Jawa bagian Tengah-Selatan. Kali Oyo itulah sebenarnya yang merupakan akibat dari adanya sesar Oyo. Sesar Oyo pernah dijadikan “tersangka” yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya gempa Yogyakarta tahun 2006 lalu. Dari berbagai pembuktian pun ternyata hasil studi tentang gempa Yogyakarta tahun 2006 banyak yang tidak sejalan terhadap keterlibatan sesar Oyo.

Penulis berwisata ke air terjun Sri Gethuk bersama @Zeryionimo @malick_reza @merza_engineer @Andragusta @Faqih__ @Linda_Miati dan @AurumData.

Ra Masalah Har!!!

Yogyakarta adalah kota yang pada era 60-an terkenal sebagai kota sepeda. Sejak pertengahan 2009, walikota Yogyakarta pada saat itu, Herry Zudianto telah mengeluarkan kebijakan mengenai Sego Segawe, sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe yang artinya sepeda untuk sekolah dan bekerja. Kebijakan yang dikeluarkan pada saat itu disambut baik dan mendapatkan dukungan masyarakat. Kebetulan pada saat itu masyarakat Yogyakarta memang sedang bersemangat untuk “kembali ke sepeda“. Sepeda memiliki pengaruh positif karena selain lebih hemat, sepeda juga banyak digunakan oleh aktivis pecinta lingkungan menepis isu gombal warming.

Beberapa saat yang lalu, wali kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan surat edaran yang pada intinya adalah tidak berlakunya Sego Segawe dan Car Free Day di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta. Kebijakan ini menuai banyak protes dari aktivis pesepeda dan aktivis lingkungan. Pada tanggal 6 Oktober lalu, aktivis pesepeda melakukan demo di sekitar lingkungan pemerintahan Yogyakarta. Sepeda akan membanjiri Kota Yogyakarta.

ORA MASALAH HAR! TANPAMU SEPEDAKU TETAP MELAJU!

Jogja Last Friday Ride

Hari Rabu sore lalu saya mendapat SMS dari teman saya, nembung mau meminjam sepeda onthel besok hari Jumat malam. Saya jarang menggunakan sepeda onthel saya pada malam hari, jadilah saya perbolehkan memakai sepeda saya sak kesele. Meski begitu saya penasaran juga, untuk apa pinjam sepeda malam-malam? Terlebih lagi teman saya ini memang baru pertama kali ini nembung mau pinjam sepeda.

JLFR (Jogja Last Friday Ride) merupakan sebuah kegiatan ajang pit-pitan (bersepeda) bareng menelusuri rute tertentu di Kota Yogyakarta. Untuk event tanggal 28 September 2012 ini melalui rute Balai Kota – Jl. Kenari – Gondosuli – Munggur – Colombo – Terban – Cikditiro – Suroto – Kridosono – E.M. Noto – Jend. Sudirman – Tugu – Mangkubumi.

Informasi awal yang saya dapatkan mengenai kegiatan ini pun sangat minim. Hampir tidak ada, kecuali hanya sak sliweran (sekilas) di halaman muka facebook. Gambar semacam poster yang bahkan melihat saja rodo nggak ngeh (kurang memperhatikan). Informasi yang saya dapatkan justru dari teman saya yang mau pinjam sepeda itu.

Entah kenapa saya ingin ikut bersepeda, sekedar pit-pitan bareng. Bahkan asumsi saya awalnya cuma mau pit-pitan bareng empat orang teman. Begitu keluar melalui jalan-jalan alternatif sepeda mulai nampak keramaian para pesepeda menuju satu tujuan yang sama, Balai Kota Yogyakarta. Sampai di jalan depan Balai Kota sudah terlihat beberapa kerumunan para pesepeda kongkow di sepanjang pinggir jalan. Saya kira hanya sedikit, tetapi ternyata semakin malam semakin banyak, semakin malam semakin asik.

Sekitar pukul 20.30 pit-pitan menelusuri rute yang sudah ditentukan dimulai, ternyata selama di jalan ada juga para pesepeda yang ngadang di jalan dan bergabung. Semakin mendekati finish di Mangkubumi semakin banyak saja. Meski hitungannya tak sampai puluhan ribu, saya rasa ini cukup banyak untuk ngebak-ngebaki jalan sepanjang rute perjalanan.

Saya tidak begitu tahu mengenai ijin dan pemberitahuan gangguan, bahkan siapa yang menjadi pandega kegiatan ini pun saya tidak tahu. Karena sudah pasti dengan jumlah pesepeda yang bergabung itu sudah termasuk kegiatan berkumpul di tempat umum yang bisa mengganggu keselamatan dan ketertiban pengguna jalan.

Apapun itu rasanya masih cukup banyak evaluasi yang harus dilakukan oleh para pesepeda. Utamanya adalah tidak rebutan jalur dengan pengguna kendaraan lain (sepeda motor, mobil, becak, andong, dll). Tertib harus menjadi tatanan ketat dan dipatuhi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Saya melihat banyak pesepeda yang secara tidak sadar mempertaruhkan nyawa dengan menyeberang persimpangan jalan sembarangan, tidak memperhatikan kondisi dari arah berlawanan maupun yang dari kanan-kirinya.

JLFR ini lumayan seru terutama saat menyoraki dan “menyemangati” pesepeda yang tertinggal di belakang saat sampai di Mangkubumi. Saya baru pulang bersepeda pukul 10.30 malam. Pun itu bersama teman-teman saya tidak langsung pulang melainkan mencari makan malam di nasi goreng daging kambing dekat Panti Rapih. Selanjutnya nongkrong di Angkringan Ndhelik di Jl. Pandega Raya (Pogung Lor) sampai pukul 01.30 (lewat tengah malam). Sampai kost langsung nulis dan posting ini.

* foto lainnya masih ada di Septian.

Becak Solo (1)

Menjadi tukang becak adalah sebuah pilihan yang terpaksa harus diambil oleh Pak Narno. Pak Narno dahulu ingin hidup layaknya eksekutif yang tinggal duduk di kursi kantor, tandatangan, dan setiap bulan dapat gaji besar. Tapi apa daya, Pak Narno hanyalah lulusan SMP duapuluh tahun lalu.

Ditengah riuh renyah para peserta SOLO – Sharing Online Lan Offline yang baru saja keluar dari Graha Solo Raya ini saya mencoba mencari sisi lain dari kehidupan kota Solo. SOLO adalah acara Jambore Blogger yang salah satu sponsor-nya adalah XL Dipertemukanlah saya dengan kejadian unik yang akhirnya saya abadikan melalui digital kamera yang memang saya siapkan sedari keberangkatan ke Solo.

Tukang becak yang setelah saya sedikit berbincang diketahui bernama Pak Narno ini sedikit unik. Pak Narno menjadi tukang becak untuk menghidupi keluarganya, seorang istri dan seorang anak yang masih sekolah SD. Dengan berbagai usaha untuk menyisihkan hasil mbecak, Pak Narno mampu membeli sebuah HP Motorolla yang kalau tidak salah sepengetahuan saya adalah HP kelas musik.

Berbincang mengenai internet setelah Pak Narno bertanya mengenai acara yang baru saja berlangsung di Graha Solo Raya, pak Narno ternyata bukanlah tipe orang yang tidak tahu sama sekali mengenai internet. Bahkan pak Narno ini punya facebook. Tetapi mengenai blog, Pak Narno masih melihat sebagaimana pernah diungkapkan oleh Roy Suryo, blogger adalah hacker. Susah juga menjelaskan mengenai hal ini.

Sayang sekali perbincangan tidak berlangsung lama, Pak Narno mendapat order mengantar dua orang turis ke Solo Grand Mall, lumayan jauh menurut saya.

Setelah perbincangan dengan Pak Narno ini, sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya berangan-angan. Bagaimana seandainya tukang becak semacam Pak Narno ini bekerja layaknya sopir taksi, memanfaatkan HP yang dia miliki untuk “antar-jemput” penumpang. Penumpang tinggal SMS/Telepon Pak Narno, selanjutnya Pak Narno datang dan mengantarkan si penumpang. Bukankah itu salah satu bentuk memanfaatkan teknologi.

Saya tidak berani membayangkan Pak Narno punya blackberry, saya khawatir pak Narno kepingin HPnya Agnes Monica (blackberry –red) karena disepanjang jalan Slamet Riyadi sering melihat Agnes Monica pegang HP canggih itu. Yang lebih khawatir lagi kalau Pak Narno tidak mampu menghidupi keluarganya karena setiap bulan harus membayar nominal tertentu untuk blackberry. Toh dari segi kemanfaatan blackberry untuk Pak Narno, tentunya tidak akan terlalu banyak. Kecuali Pak Narno adalah seorang eksekutif, seperti yang diinginkan dahulu kala.

Di Solo, Setiap Batu Punya Cerita

Beberapa minggu lalu saya menerima sebuah imel forward dari kaumbiasa berisi undangan acara SOLO dari kawan bengawan. Tak terasa saya sebentar lagi akan menginjakkan kaki di Solo -kota yang sedang dalam masa rilis the cyber city dan the spirit of Java­– untuk menghadiri undangan dari konco Bengawan. Sebagai salah satu tetangga komunitas dan mengemban ikrar paseduluran tanpa batas yang diusung Pendekar Tidar, adalah wajib ain untuk menghadiri undangan. Ada hal lain selain paseduluran tanpa batas yang membawa saya semakin bersemangat menuju SOLO.

Dalam sebuah perjumpaan wirablogger di Wonosobo tahun lalu, sempat balatidar bertukar cincin cinderamata dengan wirablogger dari wilayah-wilayah lain yang hadir dalam acara bertajuk Wisata Blogger itu. Salah satu cinderamata yang menarik adalah kitab solo yang diulurkan melalui tangan pakdhe blontank. Beruntung balatidar mendapatkan dua buah buku yang ternyata setelah saya baca di markas online bengawan ternyata hanya dicetak 1000, artinya buku ini adalah limited edition tetapi bukan dibuat dengan limitation.

Saya waktu itu sempat sedikit menyimak beberapa seratan dari Arswendo, dan yang membuat saya terkesan adalah kalimat (atau mungkin frase) berikut ini:

Di Solo, setiap batu punya cerita.

Begitu kalau ingatan saya memang masih bagus dan belum corrupted. Saya secara keilmuan geologi, geofisika, dan geodesi memang menganggap ini sesuatu yang luarbiasa. Sebenarnya yang batunya punya cerita itu tak hanya Solo, bahkan batu pondasi rumah saya pun punya cerita.

Ketika saya kaji lebih mendalam dengan segenap keilmuan yang dipinjamkan kepada saya, saya secara mutlak tanpa tendensi apapun sangat setuju dengan pernyataan itu. Pasalnya Solo memiliki keindahan alam yang mengandung banyak keilmuan geosains, salah satunya adalah Bengawan Solo. Dari Bengawan Solo ini orang banyak menggali sejarah dengan membaca batuan-batuan disekelilingnya.

Ya, batuan adalah salah satu media penyimpan memori masalalu. Media storage yang satu ini bisa jadi mulai menyimpan memorinya sejak berjuta-juta tahun lalu, sangat-sangat jauh sebelum manusia mengenal pita magnetik dan flashdisk. Bayangkan saja umur batuan yang kalau saya mereferensi pada batuan yang terbentuk pada kala miosen tengah adalah batuan berumur 10,2 – 16,2 juta tahun, maka selama itulah salah satu batuan yang ada di Bengawan Solo menyimpan memori. Perlu diketahui pula, hingga saat ini pun batuan itu masih tetap merekam kejadian-kejadian yang dialaminya. Tentu ini lebih hebat dari camcorder kita, butuh berapa terrabyte untuk menyimpan rekaman kejadian selama itu?

Dari batuan pula orang menyimpulkan bahwa pada jaman dahulu aliran sungai Bengawan Solo bermuara di pantai Sadeng (Gunung Kidul) meskipun kenyataan sekarang muara Bengawan Solo ada di Tuban (Jawa Timur). Selama 262,5 – 408,5 juta tahun (zaman devon) rekaman kejadian saat itu masih tersimpan rapi dalam batuan, hingga saat ini. Sungguh hebat bukan batuan yang ada di Bengawan Solo?