Mbatik disini bukan membuat batik lho, maksudnya kopdar spesial memakai batik sebagai bentuk ndherek bungah karena 2 Oktober 2009 dunia mengakui batik sebagai warisan budaya dunia. Ngomong-ngomong masalah batik, saya di rumah punya banyak tapi sialnya yang terbawa ke Jogja cuma dua lembar (koyo dhuwit wae). Yo wis lah sak anane wae. Kopdar ini memang spesial karena pertama kalinya saya ikutan kopdar Cahandong (insyaallah istiqomah atawa konsisten). Selain gara-gara kopdar pertama itu sendiri, kebetulan tempatnya juga spesial.
Lho ono opo karo papan panggonan kopdar? Lak yo podho karo kopdar biyasane to?
Cahandong (CA) menyebutnya titik nol. Sampeyan yang nguri-uri matematika tentu saja ini sesuatu yang spesial. Karena nol ini dalam perkalian dan pembagian bisa menjadikan segala sesuatu menjadi tidak bernilai, tapi juga menjadi bernilai sampai takhingga. Saya yakin haqqulyaqin teman-teman CA ini pengenya punya nilai bagi orang-orang dan segala sesuatu di sekelilingnya, termasuk bangsa ini.
Titik nol juga sebagi titik batas pemisah antara nilai bilangan positif dan negatif. Artinya CA ini bisa menjadi penengah dan mandegani urusan-urusan konflik antara dua kubu yang saling bertentangan, CA ini moderat tetapi tetap pemisah. Terbukti CA bisa tetep eksis di titik nol meski banyak orang berkepentingan disana.
Nol sebagai awal permulaan segala sesuatu, sebagaimana teori big bang-nya orang fisika, jagad raya ini ada dari sesuatu yang tidak ada (antara antimateri dan materi). CA sebagai salah satu sumber awal mula ide-ide dan gagasan besar muncul, meski kadang sekedar gojegan wong kere tapi dari yang sekedar gojeg kere itulah ide-ide dari bawah bisa muncul secara terbuka, blak-blakan, tanpa tedheng aling-aling.
Di Jogja sendiri sebagian besar perhitungan kilometer dari jalan raya dimulai dari titik nol ini. Silahkan sampeyan perhatikan, mulai dari angka berapa kilometernya jalan Kaliurang, Monjali, Cik Di Tiro? Gak ada kan Jakal kilometer nol, Monjali kilometer nol, Cik Di Tiro kilometer nol? Ya itu tadi angka nol dimulai dari titik nol tempat CA biasanya mangkal.
Sampai TKP (titik nol) byar… Padhang welate. Kedatangan saya sudah disambut para pangeran bersama pira-pira widodari (sirahe tambah gedhe ki) penuh persahabatan, sumringah, nyedulur. Kalau ada menu yang mirip di facebook, pasti saya langsung klik like this. Sayang sekali gak ada.
Saya ini nubie jadi ya datang gak langsung mencak-mencak. Mengamati kondisi, model, dan arah pembicaraan. Setelah sekitar lima menit baru saya berani urun cariyos ngobrol dengan beberapa orang di belakang singgasana CA. CA yang katanya udah menguasai singgasana titik nol ternyata gak sendirian, masih ada beberapa orang pinggiran yang ternyata lebih dulu jadi penguasa titik nol. Salah satunya tukang becak, sebut saja pak Giyanto sudah sekitar enam tahun mangkal di area titik nol. Berarti selain saya nyedhaki CA saya juga nyedhaki para tukang becak, biar sama-sama nyaman menempati ruang publik di titik nol itu. Toh gak ada ruginya punya kenalan baru, punya sedulur baru. Minimal nerapke sunnah Kanjeng Rosul yang menganjurkan untuk menyambung tali silaturahmi. Iya to?
NB: Nek ono klirune tulung dikoreksi, nek bener yo alhamdulillah, nek ngrewo yo dingapuro. Iki mung carita lan ide saka pangarso blog ing sawijining dina.