Rute Jogging Mblumbang Yogyakarta

Seminggu terakhir ini saya kembali teringat keharusan menjaga kondisi kesehatan saya. Saya masih ingat terakhir kali saya berolahraga sudah hampir tiga bulan yang lalu. Apa yang membuat saya ingat untuk kembali menjaga kesehatan? Teman seumuran saya ada yang kemaren cuci darah dan katanya sekarang udah dua minggu sekali karena gagal ginjal. Saya nggak mau itu terjadi pada diri saya. Mulai hari ini saya sudah membuat perencanaan dan jadwal khusus untuk berolahraga, dalam artian olahraga yang sebenarnya.

Pilihan olahraga. Di dekat kost memang sih ada Arena Futsal (Golden Goal) lewat jalan ke arah Masjid Pogung Raya (MPR). Tapi sepertinya itu gak efisien bagi saya, tentunya termasuk perhitungan karena mengeluarkan biaya yang gak sedikit. Mau tenis atau bulu tangkis juga gak ada tempat dan mahal juga. Mau olahraga catur kok sepertinya yang olahraga cuma otak, pikirannya nyekak raja. Pilihan paling bagus dan efisien plus murah sepertinya jogging aja.

Mengatur rute Jogging. Kalau dari Wisma Mblumbang mau ke GSP (Grha Sabha Pramana) tentu amat jauh dan hampir memakan waktu setengah jam. Selain itu juga tingkat polusi di sekitar GSP sudah lumayan tinggi. Menuju lembah UGM sepertinya sama aja, polusi sudah amat tinggi sekali, apalagi dengan lewat-nya bis-bis yang sebenernya udah tidak layak pakai itu. Pilihan alternatif saya adalah dari Wisma Mblumbang Menuju perempatan Kentungan dilanjutkan belok kiri ke arah Monjali. Setelah sampai di Perempatan Monjali belok kiri menuju PDAM trus belok kiri lagi ke arah Pogung Lor, sudah lah kembali menuju Wisma Blumbang.

Memilih waktu. Kalau pagi sepertinya gak mungkin. Selain dari segi sempat karena biasanya saya bangun diatas jam lima juga atas pertimbangan trafik di pagi hari yang di sekitar ringroad pasti padat. Selanjutnya pilihan sore sepertinya juga tidak tepat karena juga arus balik apalagi pilihan siang hari yang pastinya super panas di Jogja. Akhirnya pilihan saya pas setelah magrib. Trafik udah mulai sedikit sepi. Selain itu juga kebetulan ada barengannya Mas Apas dan Mas Septian. Kalau dihitung waktu, perjalanan muter itu menghabiskan sekitar 30 menit (lari plus jalan). Ya kalau dihitung nanti sampai kost jam setengah tujuh. Istirahat sebentar plus nanti mandi pas selesai jam tujuh tit…..

Hayo… Siapa yang mau ikut?

Duit

Kawan, dengan uang engkau dapat….
Membeli tempat tidur, tapi tidak dapat membeli tidur nyenyak.
Membeli sebuah jam, tapi tidak dapat membeli waktu.
Membeli sebuah buku, tapi tidak dapat membeli pengetahuan.
Membeli posisi yang bagus dalam pekerjaan, tapi tidak dapat membeli kehormatan.
Membeli obat-obatan, tapi tidak dapat membeli kesehatan.
Membeli darah, tapi tidak dapat membeli kehidupan.
Jadi uang bukanlah segalanya.

Uang terkadang membuatmu merasa sakit dan menderita.
Aku memberitahukan hal ini kepada kalian semua, karena aku adalah temanmu.
Sebagai teman aku ingin menyingkirkan semua rasa sakit dan penderitaan yang engkau alami.
Jadi segera kirimkan semua uangmu kepadaku karena aku rela menderita untukmu.

Salam manis,
Temanmu yang terbaik….

*repost dari milis geofisika ugm 2007

FTSC – Fun Teenagers Study Club

Giliran saya bahas mengenai pekerjaan malam saya (ojo nekting sik). Lha opo sangkut paute karo blog? Pikiren dhewe.

Rekonsiliasi? Apa sih itu? Rekonsiliasi kalau gak salah bisa diartikan sebagai penyusunan kekuatan kembali, bala-bala edan ngumpul bareng rembugan. Sudah hampir enam bulan saya rodo aktif menjadi sukarelawan ngajar di panti asuhan. Lha kok namanya sukarelawan? Soalnya saya ngajar cuma karena saya suka aja. Nek gak suka ya cukup disebut relawan (rodo kepekso). Saya ndak peduli kok mau diitung perbuatan baik atau ndak sama sampeyan. Sing penting aku lak seneng. Kok seneng? Ya seneng soalnya di panti asuhan ini saya merasa berguna, merasa dibutuhkan, termasuk ilmu yang saya dapet (meskipun sedikit). Wis lah mung iso pipolondo (perkalian-pembagian-penjumlahan-pengurangan) yo rapopo. Nek jarene sunnah Kanjeng Rasul (maneh) bagilah ilmu yang kau miliki walaupun sedikit. Lha saya punya cuma dikit, itu aja dikasih ama Gusti Allah. Piye jal?

Sampeyan ndak usah bilang: Mas nek sombong karo pamer mengko amalmu ra ditompo lho. Lha kowe ki sopo kok ndhisik-ndhisiki petungan amalku tinimbang Gusti Allah. Wong sing ngerti petungan amalku yo mung Gusti Allah. Tapi nek ada yang bilang langsung ndak bakalan saya jawab seperti itu kok. Saya cuma mau publikasi aja kalau teman-teman FTSC lagi kekurangan tenaga pengajar. Siapa tau ada yang pengen sesekali berperilaku menjadi manusia sosial, ojo mung material karo akademis thok ndak ra payu sampeyan. Urip kuwi Urap, Urup, lan Arep (pinjam istilahnya Cak Nun tanpa ijin).

Sebenarnya saudara-saudara saya (yang tergabung dalam FTSC) sudah mulai ngajar di panti asuhan hampir dua tahun (lumayan suwe lah). Awalnya saya cuma diajak sama Mbak Erfi buat iseng-iseng ikut ngajar di panti. Yo wis lah teko melu wae, timbang nang kost plenggang-plenggong. Ternyata panti yang dimaksud adalah panti asuhan yang dulu saya pernah kesana bareng teman-teman Geofisika. Panti Asuhan Putra Muhammadiyah di jalan Taman Siswa. Saya sendiri kalau ditanya nama panti asuhan-nya ya ndak tau. Pokoknya saya seneng, ra peduli kuwi nang ndi.

FTSC ki opo to mas? FTSC itu kumpulan cah rapatek waras yang masih dengan senang hati (dan pikiran) sinau bareng adek-adek di panti asuhan. Kenapa ra waras? Ra waras karena mosok to jaman sekarang masih ada yang mau ngajar gak dibayar. Anggotanya (yang tercatat) ada 26 orang. Yang dari UGM 25 orang (rasah disebutke), sisanya Mas Faqih dari UPN (Pertambangan lho). Ngajar tiap malem Rabu dan malem Kamis.

Tiap pengajar dapet satu kelompok bimbingan (sekitar 6 anak) dan seminggu dapet satu kali ngajar. Bisa milih Rabu, bisa juga Kamis. Tahun ajaran kemaren sih tenaga 26 orang sudah cukup menghadapi jumlah anak-anak dari panti. Tapi untuk tahun ini jadi sedikit kekurangan tenaga (sukarelawan) karena jumlah penghuni panti juga bertambah. Apa yang membuat teman-teman tetep semangat? Tahun ajaran kemaren pihak panti sedikit pesimis hanya dengan mentargetkan 80% anak asuhnya lulus ujian akhir. But its surprise, ternyata dengan program pendampingan belajar bersama teman-teman FTSC dan tentunya semangat adek-adek kami di panti tahun ajaran kemaren bisa lulus 100%. Dari pengalaman ini, teman-teman bisa menyimpulkan kalau sekarang pastinya pihak pengelola panti makin menaruh harapan kepada teman-teman FTSC. Apapun itu, yang penting seneng. Sesuai dengan namanya, Fun Teenagers Study Club.

Mbecak

Saya masih tidak mengerti dengan satu orang tukang becak di titik nol Jogja, tempat biasa cahandong mangkal juminten. Apa hubungannya tukang becak ama cahandong? Ya jelas ada hubungannya, tukang becak ini yang sering berada di dekat pangkalan CA namun mungkin luput dari pengawasan cahandong. Sedikit memiliki perhatian terhadap CA meski gak pernah mengenal apa itu internet. Lha kok sampeyan tau?

Sedikit tips buat anda. Seperti kebiasaan orang Jawa, tak perlu harus tau identitasnya untuk mengeksplorasi apa yang ada di pikiran orang. Ketika awal pembicaraan jangan sesekali menyentuh area privat identitas-nya. Menanyakan identitas di awal pembicaraan dianggap lancang dan tidak sopan, anda akan dianggap orang yang agresif. Kebanyakan orang Jawa tidak menyukai cara-cara agresif seperti itu. Kalau memang perlu identitas, tanyakan pada akhir pembicaraan setelah suasana pembicaraan lebih santai dan batas interpersonal semakin tipis, itu lebih berkesan.

Ini sedikit cuplikan gojeg kere antara saya (N) dengan salah satu penggiat becak yang biasa mangkal di titik nol, sebut saja pak Giyanto (G). Terjadi pada acara kopdar CA spesial hari batik (sembari nunggu orang ndremimil). Tapi gak ada hubungannya sama perbatikan Indonesia.

N: Sepi nggih pak? (sepi ya pak?)

G: Ho’o ki mas, yo pancen biyasane koyo ngene iki. Saiki ki angel mas golek penumpang sing gelem mbecak. (Iya ini mas, memang seperti ini. Sekarang susah cari penumpang yang mau naik becak.)

N: Lha le pripun niku pak? (Kenapa begitu pak?)

G: Lha delok wae saiki wis ono bis pemerentah (Trans Jogja, red), akeh montor, akeh pit. Ora koyo biyen lah mas. (Lihat saja sekarang sudah ada Trans Jogja, mobil, motor. Gak seperti dulu.)

N: Sampun pinten taun pak narik becak? (Sudah berapa lama jadi tukang becak pak?)

G: Wah aku sih anyaran mas, nang kene gek nem taun (6 tahun, red). Kuwi termasuk gek ntes nek jenenge mbecak. (Wah saya masih baru mas, disini baru enam tahun. Itu termasuk belum lama untuk ukuran tukang becak.)

N: Mboten wonten sing protes nopo nggangu nek mangkal teng mriki? (Gak ada yang protes atau ganggu kalau mangkal di sini?)

G: Yo sukur nganti saiki ora ono. Paling mung nek pas njero benteng ono acara mung kon pindah nang samping kono kuwi. (Ya syukur nyampe sekarang belum ada. Paling Cuma kalau dalam benteng ada acara cuma suruh pindah ke samping jalan itu.)

N: Lha biyasane sedinten angsal pinten? (Biasanya sehari dapat berapa?)

G: Durung mesti. Nek pas rame yo pol mung seket ewu, nek sepi malah kedong ra oleh. (Belum tentu. Kalau pas ramai ya paling banyak dapet limapuluh ribu, kalau sepi malah kadang gak dapet apa-apa.)

N: Nek bule lak nggih seneng sing tradisional to pak? (Tapi turis asing kan suka naik yang tradisional kan pak?)

G: Lha aku ki bingung le meh nawani mbecak nang londo-londo (turis asing, red). Ora ngerti ukarane. (Saya tu bingung gimana menawarkan naik becak ke turis asing. Gak tau kalimatnya.)

N: Trus nek wonten bule numpak becak mbayare pripun? (Kalau ada orang asing yang naik becak gimana bayarnya?)

G: Biyasane yo mung tak genahi duwit selawe ewu, londo-ne mengko ngekeki duwit sing podho karo sing tak genahke mau. (Biasanya cuma saya tunjukkan uang 25 ribu, turisnya nanti ngasih uang yang sama seperti yang saya tunjukkan tadi.)

N: Nek mangkal ndalu tekan jam pinten? (Kalau mangkal malam nyampe jam berapa?)

G: Yo ra ono jam-jaman. Teko nang kene terus, ibarate koyo keong. Becak ki koyo omah digowo nang ndi-ndi, turu mangan nang nduwur becak, ning nek nguyuh yo ora. (Ya tidak ada batas waktu. Disini terus, ibarat seperti keong. Becak itu seperti rumah dibawa kemana-mana, tidur makan di atas becak, tapi kalau kencing nggak.)

N: Paling tebih nek narik becak tekan pundi pak? (Paling jauh narik becak nyampe mana?)

G: Yo tergantung mas, wis tau narik tekan Monjali seko kene iki. Kesel ning yo pancen nggo nyukupi kebutuhan ki piye maneh. Ibarate meh nyekolahke anak ki sing penting anak kecukupan. Mengko mesti ono wae dalan rejeki sing penting lak ra ngganggu liyane. (Ya tergantung penumpang mas, pernah nyampe Monjali dari sini. Capek tapi ya memang buat nyukupi kebutuhan mau gimana lagi. Ibarat mau menyekolahkan anak itu yang penting anak tercukupi. Nanti pasti ada jalan rejeki yang penting gak ganggu orang lain.)

N: Putrane sekolah teng pundi? (Anaknya sekolah dimana?)

G: Kae gek lulus STM taun wingi wis kerja nang Bengkel honda Jakarta. (Baru aja lulus kemaren dan udah kerja di Bengkel sepeda motor di Jakarta.)

N: Nggih lumayan lah pun saged urip kiyambak ngurangi beban. (Ya lumayan lah setidaknya sudah punya modal hidup sendiri mengurangi beban.)

G: Ha yo mbuh ki kok ndilalahe teko iso. Nek dietung lak ra cucuk to. Sedino mung sepuluh ewu iso nganti anak lulus STM. (Ya itu gak tau kok bisa. Kalau dihitung kan gak mungkin. Sehari Cuma 10 ribu kok anak bisa nyampe lulus STM.)

N: Niki nek ndalu malem setu pancen cah-cah niki sok ngumpul teng mriki? (Kalau Jumat malam anak-anak di depan ini sering ngumpul di sini?)

G: Ora ngerti mas, aku sing nang kene ket biyen wae saben ngerti cah-cah kuwi yo teko aku dinengke wae kok. Sing penting lak aku ra ngganggu to. (Gak tau mas, saya yang dari dulu di sini aja tiap tau ada anak-anak itu ya mereka diem aja gak ngajak ngobrol sedikitpun. Yang penting kan saya gak ganggu.)

N: Pa’e ngertos niki cah-cah saking pundi? (Tau gak pak ini anak-anak dari mana?)

G: Yo ra ngerti mas. Pokoke biyasane nang kene iki. (Ya gak tau mas. Pokoknya biasanya disini.)

N: Niki lak rencang-rencang sing seneng nulis ning internet. (Ini kan teman-teman yang suka nulis di internet.)

G: Internet ki opo mas? (Internet itu apa mas?)

N: Wah pripun nggih. Nggih kados koran niko lho. Nulis-nulis ben saged diwaos tiyang. (Wah gimana ya. Ya seperti koran itu. Nulis biar bisa dibaca orang lain.)

G: Wah aku ra mudeng mas sing koyo ngono kuwi. Nek moco koran ngerti. Aku ki nek meh sinau meneh wis isin wong wis tuwo. (Wah saya gak tau yang kayak gitu. Kalau baca koran saya tau. Saya itu mau belajar lagi udah malu soalnya udah tua.)

Cahandong Mbatik

Mbatik disini bukan membuat batik lho, maksudnya kopdar spesial memakai batik sebagai bentuk ndherek bungah karena 2 Oktober 2009 dunia mengakui batik sebagai warisan budaya dunia. Ngomong-ngomong masalah batik, saya di rumah punya banyak tapi sialnya yang terbawa ke Jogja cuma dua lembar (koyo dhuwit wae). Yo wis lah sak anane wae. Kopdar ini memang spesial karena pertama kalinya saya ikutan kopdar Cahandong (insyaallah istiqomah atawa konsisten). Selain gara-gara kopdar pertama itu sendiri, kebetulan tempatnya juga spesial.

Lho ono opo karo papan panggonan kopdar? Lak yo podho karo kopdar biyasane to?

Cahandong (CA) menyebutnya titik nol. Sampeyan yang nguri-uri matematika tentu saja ini sesuatu yang spesial. Karena nol ini dalam perkalian dan pembagian bisa menjadikan segala sesuatu menjadi tidak bernilai, tapi juga menjadi bernilai sampai takhingga. Saya yakin haqqulyaqin teman-teman CA ini pengenya punya nilai bagi orang-orang dan segala sesuatu di sekelilingnya, termasuk bangsa ini.

Titik nol juga sebagi titik batas pemisah antara nilai bilangan positif dan negatif. Artinya CA ini bisa menjadi penengah dan mandegani urusan-urusan konflik antara dua kubu yang saling bertentangan, CA ini moderat tetapi tetap pemisah. Terbukti CA bisa tetep eksis di titik nol meski banyak orang berkepentingan disana.

Nol sebagai awal permulaan segala sesuatu, sebagaimana teori big bang-nya orang fisika, jagad raya ini ada dari sesuatu yang tidak ada (antara antimateri dan materi). CA sebagai salah satu sumber awal mula ide-ide dan gagasan besar muncul, meski kadang sekedar gojegan wong kere tapi dari yang sekedar gojeg kere itulah ide-ide dari bawah bisa muncul secara terbuka, blak-blakan, tanpa tedheng aling-aling.

Di Jogja sendiri sebagian besar perhitungan kilometer dari jalan raya dimulai dari titik nol ini. Silahkan sampeyan perhatikan, mulai dari angka berapa kilometernya jalan Kaliurang, Monjali, Cik Di Tiro? Gak ada kan Jakal kilometer nol, Monjali kilometer nol, Cik Di Tiro kilometer nol? Ya itu tadi angka nol dimulai dari titik nol tempat CA biasanya mangkal.

Sampai TKP (titik nol) byar… Padhang welate. Kedatangan saya sudah disambut para pangeran bersama pira-pira widodari (sirahe tambah gedhe ki) penuh persahabatan, sumringah, nyedulur. Kalau ada menu yang mirip di facebook, pasti saya langsung klik like this. Sayang sekali gak ada.

Saya ini nubie jadi ya datang gak langsung mencak-mencak. Mengamati kondisi, model, dan arah pembicaraan. Setelah sekitar lima menit baru saya berani urun cariyos ngobrol dengan beberapa orang di belakang singgasana CA. CA yang katanya udah menguasai singgasana titik nol ternyata gak sendirian, masih ada beberapa orang pinggiran yang ternyata lebih dulu jadi penguasa titik nol. Salah satunya tukang becak, sebut saja pak Giyanto sudah sekitar enam tahun mangkal di area titik nol. Berarti selain saya nyedhaki CA saya juga nyedhaki para tukang becak, biar sama-sama nyaman menempati ruang publik di titik nol itu. Toh gak ada ruginya punya kenalan baru, punya sedulur baru. Minimal nerapke sunnah Kanjeng Rosul yang menganjurkan untuk menyambung tali silaturahmi. Iya to?

NB: Nek ono klirune tulung dikoreksi, nek bener yo alhamdulillah, nek ngrewo yo dingapuro. Iki mung carita lan ide saka pangarso blog ing sawijining dina.