Mereda Syahwat Berbagi Informasi

Labyrinth of Information
Labyrinth of Information (Source Image: PDP.NET)

Era keterbukaan informasi membawa kita pada kebebasan berekspresi. Saya lahir di jagat internet pada pertengahan tahun 2000an masa-masa kejayaan Yahoo! Mail, jejaring Multiply, jejaring Friendster, dan jejaring Blogger. Lahir di jagat internet yang saya maksud adalah saya dengan sukarela atas inisiatif sendiri membeberkan identitas ke ranah internet, saya telah membuka diri dan menjadi terbuka kepada pihak lain atas informasi pribadi. Pertama kalinya saya membuat informasi tidak benar di jejaring internet (sebut saja HOAX) adalah memalsukan identitas berupa nama asli, alamat, nomor telepon, tanggal lahir, dan usia untuk mendaftarkan akun email. Saya lahir di jagat internet dengan identitas yang bukan saya di dunia nyata, anonim. Meski anonim, saya berbagi konten dengan jujur karena apa yang saya bagikan adalah “curhat” atas diri saya sendiri tanpa membahas kondisi orang lain.

Pada masa itu berinternet jauh lebih mahal daripada sekarang dan hanya di tempat-tempat tertentu saja bisa berinternet. Informasi yang beredar di internet pada masa itu tak sebanyak informasi yang beredar di internet jaman sekarang. Bahkan pada masa itu dengan keterbatasan kepintaran saya di jejaring saya tidak tahu ada nama Steve Jobs, Bill Gates, dan Dennis Ritchie yang bisa jadi punya banyak peran atas hadirnya perangkat yang saya gunakan. Informasi melalui internet pada masa itu meski sudah sangat banyak tapi diakses dan diproduksi oleh lebih sedikit orang. Dengan keterbatasan akses internet pada masa itu, menemukan informasi berbahasa Indonesia tak semuda sekarang. Saya merasa sendirian (alone) di Internet pada masa itu, sampai ketika saya mulai mengenal jejaring Multiply, Friendster, dan mengenal Yahoo! Mailing List (Yahoo! Group) baru saya mulai merasakan ketidaksendirianan di internet.

Sekarang, hampir setiap orang di kota maupun di desa-desa (terutama di pulau Jawa) dengan sangat mudah terhubung dengan internet, dengan sangat mudah memperoleh informasi, sekaligus dengan sangat mudah memproduksi informasi. Jumlah informasi semakin banyak dan terus semakin banyak sampai pada kondisi pengguna internet bak berada di rimba belantara bernama informasi, potensi dan peluang tersesat semakin tinggi. Siapapun bisa menjadi produsen informasi, siapapun bisa mereproduksi informasi, dan siapapun bisa menjadi konsumen informasi. Begitupun soal konten, konten yang diproduksi, konten yang direproduksi, dan konten yang dikonsumsi ada kemungkinan konten informasi yang benar atau konten informasi yang salah.

Mereproduksi informasi (sebut saja berbagi ulang, share, share-edit, retweet, requote) pun bisa ada banyak kemungkinan.

  1. Informasi sumber benar, hasil reproduksi menjadi salah.
  2. Informasi sumber salah, hasil reproduksi menjadi salah.
  3. Informasi sumber benar, hasil reproduksi menjadi benar.

Tiga kemungkinan berbagi ulang (reproduksi) tersebut yang kurang baik untuk dikonsumsi adalah jenis pertama dan kedua. Dengan ada empat kemungkinan seperti itu, saya ‘memagari’ diri dengan beberapa tindakan dan pemikiran apabila menerima sebuah informasi supaya syahwat berbagi informasi dapat teredam.

Cek Kebenaran, Kelengkapan, dan Konteksnya

Apabila menemukan sebuah informasi, cari sumber informasi paling sahih, lengkap, dan sumber terdekat dari konten informasi. Pahami konteksnya, dalam kondisi apa konten informasi dibuat. Bila perlu, saya merekonstruksi dan membayangkan saya berada ditengah kondisi sebagaimana dalam konten informasi dijelaskan. Dengan merekonstruksi sedemikian ini, saya bisa memperkirakan kebenaran umum atau kebenaran universal, kemungkinan obyek dan subyek informasi melakukan apa dan ketidakmungkinan melakukan apa. Apabila ada sesuatu yang janggal dan diluar kebiasaan kebenaran universal, saya mencoba menelusuri kebenaran informasi sampai sumber terdekat. Kredibilitas merupakan barang langka di belantara informasi, tetapi kebenaran atas suatu kondisi yang lebih universal.

Kenali Posisi dan Kondisi Diri Sendiri

Dimana dan pada posisi apa saya menerima informasi juga poin yang penting. Pada poin ini saya selalu mempertimbangkan ‘netralitas’ atas suatu informasi. Netralitas yang saya maksud bukan hanya soal keberpihakan, tetapi ada atau tidak ada kepentingan saya didalamnya. Kalaupun ada, pertanyakan kembali apakah kepentingan saya juga menjadi kepentingan khalayak. Apakah kepentingan saya mengandung kebenaran universal, bukan hanya kebenaran menurut saya, apakah saya dalam kondisi amarah, apakah saya dalam kondisi membenci/menyukai subyek dalam konten informasi. Saya mencoba menmertanyakan hal tersebut. Kondisi saya yang demikian sangat memungkinkan menyebabkan muncul informasi yang ambigu.

Tanyakan Manfaat dan Resikonya

Untuk berbagi ulang, resahre, retweet, requote, repost, mempertanyakan manfaat dan resiko penting bagi saya. Apakah informasi bermanfaat dan mengandung kebenaran, apa ada resiko atau kebolehjadian bertemu permasalahan hukum yang bisa saja saya hadapi apabila saya membagikan informasi.

Lengkapi dan Tambahkan Manfaatnya

Apabila saya menemukan informasi yang tidak lengkap, saya coba cari informasi yang lengkap kemudian saya tambahkan merujuk pada informasi yang lebih lengkap. Informasi yang lebih lengkap menjadikan pembaca berikutnya bisa merekonstruksi informasi lebih detil dan mengurangi kemungkinan kesalahan persepsi. Pun apabila menemukan informasi yang tidak benar, saya mencoba mencari informasi yang lebih sahih sehingga informasi yang saya sajikan meski sumbernya salah bisa terkoreksi menjadi informasi utuh yang mengandung nilai kebenaran informasi.

Kesimpulan, Pandangan Pribadi, Bukan Pertanyaan

Menyimpulkan bukan perkara mudah. Tak sedikit orang menyampaikan informasi berakhir dengan berbagai tanda tanya. Kesimpulan merupakan intisari dari konten yang akan saya bagikan, atau konten yang sudah saya lengkapi dan akan saya bagikan. Bahkan, ketika saya menyajikan konten tanpa kesimpulan pun saya mengusahakan supaya penerima informasi berikutnya bisa membuat satu kesimpulan umum yang mengandung kebenaran informasi, meminimalkan kemungkinan kemunculan kesimpulan dan persepsi liar yang jauh dari kebenaran informasi.

Dalam cara yang lebih sederhana:
Cek kebenaran dan kelengkapan informasi, apabila tidak benar atau tidak lengkap saya mencoba cari informasi yang sahih, gunakan common sense sebagai manusia yang ingin dalam kondisi benar. Memastikan saya dalam kondisi normal, pada posisi netral, dan tidak menyertakan kepentingan pribadi yang tidak membawa kebenaran universal. Memastikan informasi yang akan saya sebarkan bermanfaat dan tidak membawa resiko yang kemungkinan tidak dapat saya atasi dalam kondisi saat itu juga. Tambahkan manfaat, lengkapi kekurangannya sehingga menjadi informasi utuh yang mengandung kebenaran informasi. Tidak membiarkan konsumen informasi atau penerima informasi berikutnya membuat simpulan atau persepsi liar atas informasi yang dibagikan.

SELAMAT HARI BLOGGER NASIONAL

Tugu dan Simbol Persatuan

Tugu adalah salah satu daya tarik dan simbol Yogyakarta. Siapa orang Jogja yang tidak kenal dengan Tugu? Bahkan ada yang bilang kalau berwisata di Jogja tanpa berpose di Tugu maka perjalanan wisatanya belum sah. Tugu adalah simbol bersatunya rakyat Yogyakarta dengan rajanya.

Saya sedikit tercengang saat bercakap dengan seorang teman dari kost sebelah yang sudah menetap di Jogja hampir 10 tahun. Mas Aslam berasal dari Wonosobo dan menetap di Jogja sejak kuliah hingga sekarang bekerja. Menurutnya Tugu adalah simbolisasi dari menyatunya Raja dengan rakyat.

Saat pertama kali sampai di Yogyakarta 10 tahun silam, Mas Aslam pun juga ikut latah harus berfoto-foto di Tugu hingga menyempatkan diri malam menjelang pergantian hari bersama kawan-kawan seperguruannya merambah Tugu.

Pertanyaan muncul ketika menginjakkan kaki-nya di taman kecil yang mengelilingi Tugu, bukan karena tamannya terlalu sempit tetapi karena warna tanah yang di Tugu ini berbeda dengan tanah di sekelilingnya. Mungkin karena dekomposisi yang terjadi di Tugu, begitu perkiraan awalnya.

Rasa penasarannya pun terjawab ketika mendengar cerita dari eyang yang punya kost bahwa tanah di Tugu itu terdiri dari tanah kapur yang diambil dari Gunung Kidul, tanah Alun-Alun, pasir hitam pantai Parangtritis, pasir putih Wediombo, pasir Merapi, dan beberapa tanah “berbeda” dari berbagai tempat di Yogyakarta. Campuran tanah itu adalah simbolisasi keragaman rakyat di Yogyakarta, meski beragam tetapi berkumpul dan menyatu. Menyatunya raja dengan rakyatnya disimbolkan dengan percampuran tanah-tanah dari bentangan wilayah kekuasaan kerajaan, disatukan di satu tempat di Tugu itu.

Ah itu kan Tugu yang dulu mbah, sekarang kan sudah jadi paving blok, mana tanah campurannya? Sejak tinggal di Jogja, Mas Aslam ini hanya satu kali berfoto di Tugu, itu pun ketika masih terdapat taman kecilnya. Tugu bukan sesuatu yang menarik lagi baginya karena menurutnya simbol itu telah hilang.

NB: Kalau gak salah, tahun 2009 lalu taman di Tugu dirombak dan jadi paving blok.

PicasaWeb

Bagi pengguna Windows tentunya tak ingin hanya memiliki picture viewer bawaan Windows yang menurut saya kemampuannya terbatas. Beberapa kali saat saya membelikan komputer baru untuk orang (tentunya bukan untuk saya sendiri) selalu OS yang diinstall oleh penjualnya adalah Windows XP (saya gak berani jamin itu windowsnya legal). Software yang diinstall pun salah satunya adalah ACDSee, padahal sepengetahuan saya software ini bukan software gratis.

Picasa adalah salah satu software garapan google yang boleh digunakan siapa saja. Tentunya harus menyetujui syarat dan ketentuan yang diberikan google kepada penggunanya. Picasa ini yang saya anggap mampu menggantikan kegunaan ACDSee. Kelebihannya ya itu tadi, bisa dikatakan Picasa ini gratis.

Kalau ACDSee versi Pro punya picture editor yang lumayan komplit, Picasa pun juga punya hal yang sama, meski tidak dapat sepenuhnya menggantikan beberapa fungsi yang ada pada ACDSee. Untuk urusan SlideShow pun saya rasa keduanya punya fitur ini. Sedikit perbedaan adalah dalam hal printscreen atau menangkap tampilan layar kita. Di Picasa kalau kita menekan tombol printscreen di keyboard, otomatis Picasa akan memasukkan hasil printscreen ke direktori sendiri. Lebih nyaman tentunya, selanjutnya pun kita bisa utak atik mau di crop, rotate, resize, hingga add effect.

Kelebihan lagi yang dimiliki oleh Picasa, karena software ini berangkat dari image hosting yang diusung oleh google (picasaweb) tentunya pengembangan Picasa pun mengacu pada kemampuan software ini untuk uploading gambar ke server-nya picasaweb. Kalau dengan account google kita bisa mendapatkan free image hosting di picasaweb, dengan software Picasa ini kita dapat lebih mudah mengatur gambar-gambar kita yang online lan offline.

Untuk account google gratisan kita sudah mendapatkan 1GB hosting gratis untuk gambar-gambar milik kita. Lumayan kan kalau sekedar untuk menempatkan gambar-gambar dari posting blog atau sekedar untuk dibagikan kepada teman. Kalau dirasa kurang, bisa upgrade yang setau saya dengan bayar sekitar 5 USD kita dapat hosting hingga 20GB, masih kurang lagi google menyediakan hingga hitungan terrabyte.

Kalau tak mampu beli software ACDSee sebagai fungsi picture manager, anda bisa gunakan software Picasa untuk menggantikan. Yang gratis tentu selalu menggiurkan. Silakan menuju website picasaweb untuk download software Picasa versi terbaru.

InkScape

Inkscape dikembangkan berbasis OpenSources yang setelah saya kunjungi website resminya, software ini dapat diunduh secara gratis (freeware), beruntung bagi pengguna Windows kini sudah ada Inkscape untuk platform Windows.

Meski tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi gambar vektor yang diusung CorelDraw, tetapi fitur dan fungsi-fungsi yang dibawa Inkscape sudah lebih dari cukup untuk membuat gambar vektor. Dengan interface yang sedikit berbeda sekalipun, pengguna tidak akan terlalu sulit menemukan fungsi-fungsi yang ada pada Inkscape, layaknya fungsi yang ada pada CorelDraw.

Inkscape hingga saat ini masih terus dalam proses pengembangan, tetapi sudah lumayan stabil untuk dijalankan di platform Windows. Bagi yang belum terlalu memahami CorelDraw, ada baiknya dari sekarang mulai belajar menggunakan Inkscape. Kelebihan dari inkscape berada pada OpenSources yang diusungnya.

Inkscape adalah alternatif software vector drawing bagi yang tidak mampu membeli software gambar vektor yang berbayar semacam CorelDraw atau yang sejenisnya. Jadi lebih disarankan menggunakan Inkscape yang OpenSources dan gratis daripada anda menggunakan CorelDraw yang bisa jadi adalah software bajakan. Lebih disarankan kalau memang cukup uang anda bisa punya pilihan untuk membeli software CorelDraw secara legal atau boleh juga pakai Inkscape.

Silakan berkunjung ke website inkscape untuk mendapatkan versi terbaru dari Inkscape for windows, atau untuk mendapatkan versi 0.47-3 silakan download langsung.