Bulan ini di negaraku masih kental dengan nuansa keagamaan bagi umat muslim, Ramadhan dan Idul Fitri. Ramadhan dan Idul Fitri bagi umat muslim adalah dua momen yang selalu berkaitan.
Pencernaanku berpikir keras untuk memahami bagaimana bulan Ramadhan bagi sebagian besar orang diidentikkan dengan menahan hawa nafsu, terutama nafsu makan melalui puasa. Kenyataannya puasa pada bulan Ramadhan kali ini saya justru kebanjiran undangan buka puasa bersama. Tentu saja undangan sebanyak ini soal kedekatan saya dengan teman-teman saya, kolega kerja saya, sesama aktivis dalam berkegiatan, atau apalah-apalah.
Bukan, bukan itu yang mau saya banggakan. Justru karena saking banyaknya undangan (ajakan) buka puasa bersama ini membuat saya tak cukup mampu mengendalikan nafsu makan saya saat berbuka puasa. Apalah artinya bagi perut saya yang sudah susah payah menahan keinginan bekerja mencerna makan kalau sesaat setelah buka puasa justru kebanjiran order mencerna makanan.
Hampir setiap hari dalam dua minggu terakhir saya kedatangan undangan (ajakan) untuk buka puasa bersama. Jadi dalam dua minggu terakhir memang benar godaan semakin berat, terlebih biasanya acara makan-makan buka puasa selesai sudah menjelang Isya’ yang sesering mungkin telah membuat saya melewatkan takbir imam sholat tarawih.
Pun lebaran (idul fitri) kali ini ada pencapaian pemikiran baru dalam diri saya.
Hidup tidak melulu soal seberapa banyak uang yang bisa saya kumpulkan. Ada ruang-ruang kosong yang sebelumnya belum terjawab dan baru terisi setelah lebaran. Ruang kosong yang terisi dengan jawaban atas pertanyaan,
bagaimana kabar teman-teman semasa kecil saya dan sesiapapun yang pernah saya kenal?
Meski tak kesemuanya terjawab, mengetahui kabar teman-teman saya (bahkan bertatap muka langsung) terasa menyejukkan, membuat saya harus lebih banyak bersyukur. Ada rasa haru, bahagia, dan bangga dalam diri saya atas berbagai pencapaian yang telah mereka peroleh melalui berbagai cara mereka mengusahakan.
Ada salah satu orangtua dari teman saya yang wejangan-nya sangan membekas dalam hati saya. Sukses dalam pandangan orang di lingkungan itu ada empat tingkatan,
- Berkeluarga dan mempunyai anak,
- Bekerja sesuai dengan kesenangannya,
- Berhasil dalam mendidik anak, dan
- Anak yang berbakti kepada orang tua.
Saya pikir untuk orang-orang di kampungku pernyataan itu benar, bagaimana orang di kampungku memandang tetangganya sukses pun juga demikian, barangkali juga termasuk kedua orang tua saya berpikir sama.
Saya? Saya baru sampai pada tahap orang yang hanya sedikit bersyukur. Semoga berikutnya selalu menjadi lebih baik.
*ditulis sesaat pada hari pertama masuk kerja usai cuti idul fitri.