Risalah Akhir Bulan 7/2015

Bulan ini di negaraku masih kental dengan nuansa keagamaan bagi umat muslim, Ramadhan dan Idul Fitri. Ramadhan dan Idul Fitri bagi umat muslim adalah dua momen yang selalu berkaitan.

Pencernaanku berpikir keras untuk memahami bagaimana bulan Ramadhan bagi sebagian besar orang diidentikkan dengan menahan hawa nafsu, terutama nafsu makan melalui puasa. Kenyataannya puasa pada bulan Ramadhan kali ini saya justru kebanjiran undangan buka puasa bersama. Tentu saja undangan sebanyak ini soal kedekatan saya dengan teman-teman saya, kolega kerja saya, sesama aktivis dalam berkegiatan, atau apalah-apalah.

Bukan, bukan itu yang mau saya banggakan. Justru karena saking banyaknya undangan (ajakan) buka puasa bersama ini membuat saya tak cukup mampu mengendalikan nafsu makan saya saat berbuka puasa. Apalah artinya bagi perut saya yang sudah susah payah menahan keinginan bekerja mencerna makan kalau sesaat setelah buka puasa justru kebanjiran order mencerna makanan.

Hampir setiap hari dalam dua minggu terakhir saya kedatangan undangan (ajakan) untuk buka puasa bersama. Jadi dalam dua minggu terakhir memang benar godaan semakin berat, terlebih biasanya acara makan-makan buka puasa selesai sudah menjelang Isya’ yang sesering mungkin telah membuat saya melewatkan takbir imam sholat tarawih.

Pun lebaran (idul fitri) kali ini ada pencapaian pemikiran baru dalam diri saya.

Hidup tidak melulu soal seberapa banyak uang yang bisa saya kumpulkan. Ada ruang-ruang kosong yang sebelumnya belum terjawab dan baru terisi setelah lebaran. Ruang kosong yang terisi dengan jawaban atas pertanyaan,

bagaimana kabar teman-teman semasa kecil saya dan sesiapapun yang pernah saya kenal?

Meski tak kesemuanya terjawab, mengetahui kabar teman-teman saya (bahkan bertatap muka langsung) terasa menyejukkan, membuat saya harus lebih banyak bersyukur. Ada rasa haru, bahagia, dan bangga dalam diri saya atas berbagai pencapaian yang telah mereka peroleh melalui berbagai cara mereka mengusahakan.

Ada salah satu orangtua dari teman saya yang wejangan-nya sangan membekas dalam hati saya. Sukses dalam pandangan orang di lingkungan itu ada empat tingkatan,

  1. Berkeluarga dan mempunyai anak,
  2. Bekerja sesuai dengan kesenangannya,
  3. Berhasil dalam mendidik anak, dan
  4. Anak yang berbakti kepada orang tua.

Saya pikir untuk orang-orang di kampungku pernyataan itu benar, bagaimana orang di kampungku memandang tetangganya sukses pun juga demikian, barangkali juga termasuk kedua orang tua saya berpikir sama.

Saya? Saya baru sampai pada tahap orang yang hanya sedikit bersyukur. Semoga berikutnya selalu menjadi lebih baik.

*ditulis sesaat pada hari pertama masuk kerja usai cuti idul fitri.

Lebaran di Kampung Halaman

Lebaran. Sebagai seorang Jawa kampung yang berasal dari daerah sekitar Jawa bagian tengah, lebaran saya diisi dengan saling silaturahim dan silaturahmi. Hari pertama lebaran pun saya seharian berkeliling dalam satu kampung masuk dari satu rumah ke rumah lain untuk sungkem (bentuk rasa hormat – JW) ke rumah para orang yang dituakan dan lebih tua di kampung. Setiap tahun tradisi di kampung selalu seperti itu. Dalam beberapa kunjungan, saya bertemu dengan teman seusia di kampung yang juga sesama perantau dan belakangan baru saya tahu bahwa tempat perantauannya pun sama, Jakarta.

Hari kedua lebaran, saya mulai keluar kandang. Sowan (berkunjung – JW) ke rumah-rumah saudara yang tinggalnya beda kampung, masih dalam satu kecamatan. Terhitung ada empat kampung yang saya kunjungi y.i Ngowah, Kragilan, Karen, dan Surojoyo yang semuanya masih di satu kecamatan Candimulyo. Rumah-rumah yang dikunjungi kebanyakan adalah rumah dari saudara kandung (kakak atau adik) dari kakek-nenek saya.

Hari ketiga lebaran, saya berkunjung ke dua tempat di Borobudur. Berkunjung ke saudara dari ayah saya. Pakdhe saya yang tinggal di Tanjungsari dan Bogowanti. Jalan menuju Borobudur cukup sesak pada liburan lebaran hari ketiga, wajar saja karena biasanya para pemudik dari luar kota di sekitar Magelang dan Jogjakarta memilih wisata ke Candi Borobudur, candi yang sampai saat ini masih menjadi candi terbesar di Magelang.

Hari keempat, saya mengisinya dengan banyak-banyak istirahat di rumah karena cukup kelelahan sejak mudik hari Rabu pada minggu sebelumnya. Selain itu juga ada kabar bahwa beberapa rombongan keluarga yang akan berkunjung ke rumah orang tua saya, sehingga saya merasa perlu untuk ikut mempersiapkan apa-apa yang diperlukan seisi rumah.

Hari kelima, saya mulai memisahkan diri dari ‘rombongan’ keluarga. Saya berkunjung ke rumah beberapa teman SMP dan SMA. Tidak terlalu banyak yang mendapatkan jatah kunjungan saya. Terlebih beberapa diantaranya sedang ada acara pertemuan keluarga, sowan mertua, sudah masuk kerja, bahkan ada yang sedang didandani untuk pentas seni jathilan. Ada suatu kebetulan, saya dipertemukan dengan teman SMP setelah selesai sholat dhuhur jamaah di masjid. Seorang teman saya jualan bakso keliling (menggunakan kerombong bersepedamotor) ternyata sama-sama menjadi makmum. Jadilah masjid sebagai tempat bertemunya beberapa teman SMP yang sudah sekian lama (hampir 8 tahun) belum pernah bertemu kembali.

Tuhan tengah menampar saya. Saya dihadapkan dengan seorang teman seumuran yang dengan pekerjaan yang dia senangi (secara materi sederhana) sudah membuatnya merasa cukup dan mampu menjalaninya dengan bahagia. Sedangkan saya masih mengejar ketidakpuasan akademis serta materi yang tak pernah ada habisnya, itu pun selama ini masih kurang bersyukur.

Melanjutkan cerita, hari keenam saya diisi dengan berkunjung ke rumah teman Mblumbang. Grup Mblumbang hanyalah sekelompok kecil orang dari berbagai latar belakang yang kebetulan selama hidup di Jogjakarta sering berkumpul. Bersyukur, sampai saat ini komunikasi diantara kami masih terjaga dengan sangat baik. Tahun-tahun sebelumnya kami sempat berkeliling ke setiap rumah masing-masing, tetapi untuk tahun ini keterbatasan waktu dan gandengan tidak memungkinkan bagi kami untuk melakukan hal yang sama. Dipilihlah satu tempat berkumpul untuk pertemuan. Selalu ada cerita dari masing-masing untuk dibagikan diantara kami, bahkan cerita untuk sekedar kami tertawakan. Kami juga sekaligus berkunjung ke salah satu guru Matematika sekolah, kebetulan juga beliau adalah wali kelas saya saat kelas 2 SMA di Magelang.

Hari ketujuh saya ke Jogjakarta, ke rumah calon mertua (amiiiinnnnn) sekaligus mboyong anaknya untuk saya bawa pulang kerumah. Semenjak saya ke Jakarta, pertemuannya dengan kedua orang tua saya cukup minim. Bahkan lebaran tahun lalu tidak sempat ke rumah. Makanya untuk tahun ini sudah nembung (minta – JW) pokoknya harus ke rumah ketemu ayah-ibu saya. Setelah ke rumah saya, dilanjutkan ke rumah teman-teman di Magelang (juga teman saya, grup Mblumbang) dan dilanjutkan wisata ke candi Selogriyo.

Hari kedelapan saya lebaran diisi dengan kopdar syawalan teman-teman Blogger Magelang (pendekartidar) yang selanjutnya isinya orang yang sama dengan teman-teman RTIK Magelang. Adalah Mas Hanafi yang kebagian kepanggon (ditempati – JW) rumahnya sebagai tempat pertemuan. Beberapa yang hadir adalah Mas Nanang beserta Si Ponang, Kokoh Achmad, Ariev, saya, Andri, dan tentu saja tak ketinggalan seleb blog kebanggaan wong Magelang, Gusmul – Agus Mulyadi. Pertemuan kali ini bagi saya adalah pertemuan yang istimewa karena sudah hampir genap dua tahun (semenjak saya merantau ke Jakarta) saya belum pernah bertemu kembali dengan mereka secara bersamaan (kopdar – red).

Hari-hari berlangsung begitu cepat, Minggu pagi saya sudah berangkat kembali ke Jakarta. Artinya, hari Sabtu saya harus mempersiapkan segala hal dan packing untuk saya bawa. Meski barang bawaan saya hanya satu tas ransel kecil, tetapi cerita dan berbagai wejangan – hikmah yang turut serta terbawa ke Jakarta sepertinya terlampau banyak.

Sesampai di Jakarta hari Minggu sore, tidak terlalu banyak aktifitas. Hari Senin saya sudah masuk kantor. Ritme kampung halaman masih terbawa ke Jakarta, semoga hasil kalibrasi sebagai manusia di kampung halaman bisa terbawa di Jakarta.

Wiwitan

Wiwitan berarti permulaan bukan wit-witan yang berarti pepohonan, dahulu kala merupakan suatu tradisi yang sangat familiar di kalangan petani yang hidup di pedesaan. Meski artinya permulaan tapi bukan berarti permulaan untuk musim tandur (bercocok tanam), justru wiwitan dilakukan sebelum panen raya. Setiap pemilik sawah berbeda-beda dalam menentukan kapan prosesi wiwitan ini dilakukan, bergantung pada umur tanaman, kapan mau dipanen, dan juga kata kakek saya (yang juga petani) manut weton.

Yang dilakukan dalam wiwitan ini petani membuat nasi tumpeng dan ubarampe-nya dibawa ke sawah yang sudah siap panen. Biasanya ketika mau berangkat ke sawah sore hari si petani ngundang anak-anak kecil, “wiwitan… wiwitan… wiwit…” dan serta merta anak-anak datang berkumpul ke rumah petani atau nyusul ke sawah. Di sawah sudah standby pak kaum (orang yang dituakan di dusun).

Setelah tumpeng sampai di sawah, dilakukan prosesi wiwitan dimulai dari pak kaum yang mendoakan di depan tumpengan supaya panennya memuaskan, membawa kemakmuran, dan berkah, dan manfaat bagi sang pemilik sawah. Selanjutnya pak kaum memanen sedikit dari tanaman yang siap panen itu barang sak pencasan (satu tebasan) sebagai pertanda tanaman sudah bisa dipanen esok hari. Nasi tumpeng pun dipotong, ujung tumpeng-nya ditinggal di sawah, dan sisanya dibagikan ke anak-anak yang datang dan ngamini doa-nya pak kaum tadi. Pak kaum hanya mendapatkan hasil panen sak pencasan sebagai “upah” telah mendoakan.

Tradisi wiwitan ini sudah jarang dilakukan oleh petani-petani di dusun saya. Hanya beberapa keluarga petani tua yang masih melakukan tradisi ini, termasuk kakek saya kalau menjelang panen padi.

Dua Kali Mudik Lebaran

Tahun ini adalah kali kedua saya mudik lebaran dari Jakarta. Sebelum menjadi migrant di Jakarta, saya paling pol mudik hanya dari Yogyakarta ke rumah orangtua di Magelang. Pekerjaan dan takdir telah menyeret saya ke delta sungai Ciliwung yang disebut Jakarta dan mengenal “mudik”.

Beberapa tahun sebelum saya mengalami sendiri mudik dari Jakarta, dalam persepsi saya mudik adalah tradisi yang sangat banyak menghabiskan sumber daya. Jelas yang harus keluar dari tiap individu-individu pemudik paling utama adalah waktu. Beberapa saudara saya (keluarga besar kakek-nenek saya, dari ibu) mudik dari Tangerang dan dalam beberapa tahun belakangan sedikitnya menghabiskan waktu untuk perjalanan Tangerang-Magelang selama 20 jam menggunakan kendaraan pribadi.

Saya dalam dua kali mudik lebaran selalu mengandalkan kereta api sebagai moda transportasi utama. Saya lebih memilih menggunakan kereta api karena dari segi jumlah “penumpang” yang harus bersama saya paling pol dua sampai tiga orang. Itu pun sesampai di stasiun tujuan langsung bubar jalan, menyebar ke arah rumah masing-masing. Selain itu dari sisi waktu, moda transportasi kereta api bisa memberikan kepastian lebih presisi mengenai keberangkatan dan sampainya di stasiun tujuan. Berbeda dengan melalui jalan raya yang swing ETA (estimated time arrival) bisa sangat lebar tergantung kondisi jalan raya, volume kendaraan, dan banyak faktor-faktor lain yang menjadi variabel saling berpengaruh.

Untuk saat ini memang bisa dihitung perkiraan kalau biaya menggunakan moda transportasi kereta api non-PSO (tidak disubsidi) masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan mobil pribadi. Katakanlah untuk BBM kendaraan pribadi kelas 1500cc Jakarta-Magelang kira-kira menghabiskan Rp650.000,00 (non-subsidi), pun itu bisa mengangkut –supaya tetap nyaman- empat orang. Dua kali perjalanan sekira menghabiskan Rp1.500.000,00 (ditambah biaya lain-lain) untuk 4 orang. Bandingkan dengan kereta api yang katakanlah naik kelas eksekutif murah Rp300.000,00 dikalikan 4 orang sekali jalan sudah menghabiskan Rp1.200.000,00, dua kali perjalanan Rp2.400.000,00. Terlampau lebih mahal dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.

Pun begitu, untuk saat ini saya masih lebih memilih menggunakan kereta api meski lebih mahal.

Entah kalau kemudian hari saya sudah berkeluarga (kapan ya?) dengan beberapa anak dan perlu berhajat mudik, saya akan mempertimbangkan efektifitas mudik menggunakan kereta api, apakah masih memungkinkan. Maksud saya, apakah nantinya tidak repot di kampung halaman saat harus sowan-sowan ke rumah simbahnya anak-anak atau ke sedulur-sedulur. Terlebih, saat-saat awal lebaran biasanya sarana transportasi umum di kampung halaman saya bisa dibilang sangat terbatas (hampir bisa dibilang tidak ada).

Mungkin masih bisa tetap naik kereta api (saya phobia naik pesawat) untuk kemudian di kampung halaman bisa sewa mobil, tetapi kemudian muncul lubang baru yang menghabiskan sumber daya, biaya-biaya yang sangat tinggi.

Entah menghabiskan waktu maupun biaya tinggi, tetapi menurut saya mudik membawa banyak manfaat silaturahim, silaturahmi, membantu pemerataan peredaran uang, dan masih banyak manfaat lain yang menurut saya itu jauh lebih banyak manfaat daripada mudharat. *tenan lho*

Saya masih cukup bersyukur untuk mudik meski sudah tidak disubsidi pemerintah pun masih bisa melakoni. Kakak saya yang nyantrik ngajar ilmu Fisika Dasar di Palangkaraya setiap mudik sekali perjalanan per gundul harus keluar sekitar Rp1.200.000,00 padahal sudah berkeluarga, mudik dengan satu anak dan satu istri.

Ya, persaudaraan dan kekerabatan bukanlah sesuatu yang dapat ditafsirkan dalam rupiah.

Ledok Gebang Fishing & Resto

Bagi beberapa orang memancing bisa saja sudah menjadi hobi yang pastinya menyenangkan bila dilakukan. Sebagian orang lagi memiliki hobi kuliner (mencintai makanan) hingga rela melakukan “ekspedisi” ke berbagai tempat untuk mencicipi berbagai variasi kuliner. Beberapa lainnya memiliki kedua hobi diatas, memancing dan kuliner.

Mengawali keceriaan di bulan September, saya dan beberapa teman mencoba menjajaki tempat makan dan pemancingan di daerah Candi Gebang (Wedomartani, Ngemplak, Sleman). Ledok Gebang Fishing and Resto adalah salah satu tujuan wisata kuliner dan pemancingan yang direkomendasikan oleh Data. Karena penasaran akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencoba “tantangan” memancing sekaligus mencicipi masakan ala Ledok Gebang.

Memancing memang bukan hobi saya, tetapi sesekali saya ingin mencoba sensasi memancing ikan. Saya terakhir kali memancing ikan adalah saat saya masih kelas 5 SD di sebuah sungai kecil bersumber dari Lereng Merbabu di Magelang, sudah sangat lama. Beberapa waktu yang lalu memang saya juga menjajaki memancing di Tambakboyo (salah satu bendungan dekat stadion Maguwoharjo) tapi hasilnya nihil. Kali ini saya memancing di kolam pemancingan Ledok Gebang. Ya, tempat yang sudah pasti ada ikannya. Saya pikir memancing di kolam ikan pasti mudah. Tapi karena saya sudah lama tidak memancing, jadilah memancing di kolam ikan adalah hal susah. Beberapa kali umpan saya hanya sekedar menjadi makanan gratis bagi ikan-ikan di kolam, tanpa ada ikan yang nyantol di kail.

Meski hasilnya tak terlalu banyak, rasanya sudah cukup kalau hanya untuk dimakan sendiri. Namun,sekarang berbeda ceritanya karena saya datang tidak sendirian. banyak teman yang ikut memancing. Karena hasilnya tidak cukup kalau untuk makan bersama, jadilah kami membeli ikan di resto (masih di tempat yang sama).

Menu di Ledok Gebang memang tidak semeriah (variasinya) dibandingkan dengan resto-resto terkenal di Jogja. Tetapi kalau hanya sekedar ingin menikmati suasana, Ledok Gebang adalah tempat yang sangat cocok. Air sungai yang jernih, suasana tenang, hawa yang sejuk dan nyaman, serta bangunan-bangunan bambu yang indah dengan arsitektur menawan menjadi kelebihan yang menurut saya sangat istimewa.

Soal harga makanan, Ledok Gebang jika dibandingkan dengan tempat-tempat pemancingan dan resto di Jogja menurut saya masih dalam kategori rata-rata bawah. Dalam artian masih banyak beberapa tempat lain yang agak lebih mahal meski selisih harganya tidak seberapa. Hasil pancingan ikan yang kita dapatkan pun bisa langsung dimasak di resto atau bisa juga dibawa pulang (tentunya ditimbang terlebih dahulu).

Untuk menuju Ledok Gebang bukan hal mudah, terlebih bagi orang yang belum mengenal jalan-jalan di daerah Jogja secara mendalam. Sebenarnya Ledok Gebang tidak terlalu jauh dari tempat terkenal di Jogja, stadion Maguwoharjo. Bila memang tidak tahu sama sekali dan ingin kesana, ada baiknya yang pertama kali ditanyakan begitu sampai di Jogja adalah Stadion Maguwoharjo. Setelah sampai di Stadion tanyalah ke warga di sekitar Stadion lokasi “Perumahan Candi Gebang” (bukan perumahan Candi Indah). Begitu sampai di perumahan Candi Gebang baru tanya tentang “Pemancingan Ledok Gebang”, orang-orang yang tinggal di sekitar perumahan Candi Gebang pasti mengenal tempat ini.

Secara keseluruhan Ledok Gebang Fishing and Resto adalah tempat yang saya rekomendasikan bagi teman-teman yang memiliki hobi memancing. Secara kuliner pun makanan-makanan di Ledok gebang layak dinikmati. Alasan utama saya merekomendasikan Ledok Gebang adalah suasana yang sangat menyenangkan, suasana tenang, ssejuk, nyaman, dan tata bangunan yang indah.

Ya, saya rasa kata-kata indah di bawah ini yang saya kutip dari sang pemilik memang benar adanya.

Aku terbangun oleh kicau burung yang saling bersahutan tadi pagi, udara begitu dingin menggigit tulang, nampaknya musim kemarau telah menjelang. Kubuka tirai jendela pondok bambu dimana aku terlelap semalam bersama kekasih hati. Dan wow…. tepat didepan jendela ….. serumpun teratai menyambutku dengan penuh ceria, segar bermandikan embun. Awal yang hebat, semoga hari ini penuh keceriaan, penuh kesegaran, penuh keindahan. Seceria, sesegar, seindah teratai.

– Ledok Gebang Fishing and Resto

Salam September Ceria…

Tawangsari, 5 September 2012