Tugu adalah salah satu daya tarik dan simbol Yogyakarta. Siapa orang Jogja yang tidak kenal dengan Tugu? Bahkan ada yang bilang kalau berwisata di Jogja tanpa berpose di Tugu maka perjalanan wisatanya belum sah. Tugu adalah simbol bersatunya rakyat Yogyakarta dengan rajanya.
Saya sedikit tercengang saat bercakap dengan seorang teman dari kost sebelah yang sudah menetap di Jogja hampir 10 tahun. Mas Aslam berasal dari Wonosobo dan menetap di Jogja sejak kuliah hingga sekarang bekerja. Menurutnya Tugu adalah simbolisasi dari menyatunya Raja dengan rakyat.
Saat pertama kali sampai di Yogyakarta 10 tahun silam, Mas Aslam pun juga ikut latah harus berfoto-foto di Tugu hingga menyempatkan diri malam menjelang pergantian hari bersama kawan-kawan seperguruannya merambah Tugu.
Pertanyaan muncul ketika menginjakkan kaki-nya di taman kecil yang mengelilingi Tugu, bukan karena tamannya terlalu sempit tetapi karena warna tanah yang di Tugu ini berbeda dengan tanah di sekelilingnya. Mungkin karena dekomposisi yang terjadi di Tugu, begitu perkiraan awalnya.
Rasa penasarannya pun terjawab ketika mendengar cerita dari eyang yang punya kost bahwa tanah di Tugu itu terdiri dari tanah kapur yang diambil dari Gunung Kidul, tanah Alun-Alun, pasir hitam pantai Parangtritis, pasir putih Wediombo, pasir Merapi, dan beberapa tanah “berbeda” dari berbagai tempat di Yogyakarta. Campuran tanah itu adalah simbolisasi keragaman rakyat di Yogyakarta, meski beragam tetapi berkumpul dan menyatu. Menyatunya raja dengan rakyatnya disimbolkan dengan percampuran tanah-tanah dari bentangan wilayah kekuasaan kerajaan, disatukan di satu tempat di Tugu itu.
Ah itu kan Tugu yang dulu mbah, sekarang kan sudah jadi paving blok, mana tanah campurannya? Sejak tinggal di Jogja, Mas Aslam ini hanya satu kali berfoto di Tugu, itu pun ketika masih terdapat taman kecilnya. Tugu bukan sesuatu yang menarik lagi baginya karena menurutnya simbol itu telah hilang.
NB: Kalau gak salah, tahun 2009 lalu taman di Tugu dirombak dan jadi paving blok.