Sukartini, Hutang Wanita Terdampak Globalisasi

Sukartini adalah seoarang perempuan desa yang cukup beruntung bisa kuliah di universitas favorit di ibukota. Tempat tinggal orang tua Sukartini cukup mentereng diantara rumah-rumah lain di desanya. Maklum, bapaknya seorang mantan polisi dan ibunya seorang guru. Bandingkan dengan tetangga-tetangga sekitar yang kebanyakan buruh tani dan beberapa lainnya adalah supir angkutan umum.

Semasa kecil Sukartini sekolah di sekolahan tepat di tengah desanya. Teman-teman Sukartini memanggilnya Kartini, atau hanya Tini saja. Kartini secara akademik cukup menonjol diantara teman-teman sekelas. Selain pintar, paras cantik Kartini kecil menarik perhatian banyak pemuda-pemuda desa, bahkan cukup terkenal seantero kecamatan. Karena kepintaran dan tentu saja orang tua yang masih kuat untuk ngragati (membiayai), Kartini bisa melanjutkan sekolah SMA di SMA favorit kota, sebuah sekolah negeri yang cukup jauh dari desanya.

Kartini selama sekolah SMA masih nglaju dari rumahnya. Kadang Kartini dijemput bapaknya kalau ada kegiatan sekolah sampai sore. Meski dulunya berasal dari sekolah pedesaan, Kartini tetap berprestasi di SMA. Tini, begitu teman-teman SMA memanggil Kartini. Tini nyabet piala dalam beberapa kejuaraan yang diselenggarakan hingga tingkat Nasional. Selain prestasinya, Tini juga kebetulan aktif di organisasi dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Tak ayal, Tini ditunjuk menjadi duta anti narkoba dan anti pergaulan bebas di tingkat kota.

Sementara Kartini sekolah SMA, kebanyakan teman-teman kecilnya sudah banyak yang menikah dan ngemong anak. Ya, di desa tempat tinggal orang tua Kartini sudah lumrah perempuan menikah di usia yang relatif muda. Kartini yang mendapatkan pelajaran biologi di sekolahan turut menyebarkan hasil belajarnya mengenai resiko nikah muda kepada teman-temannya di kampung. Cukup lumayan, beberapa teman kecilnya mengambil sikap seperti Kartini untuk tidak menikah di usia muda. beberapa temannya memilih untuk bekerja terlebih dahulu sambil sekolah kejar paket C.

Setelah lulus SMA dengan prestasi gemilang, Tini berkeinginan untuk melanjutkan kuliah. Namun, orang tuanya berkehendak lain. Orang tua Tini berkeinginan supaya anaknya bekerja terlebih dahulu. Tini pun sambat kepada guru-gurunya di sekolah. Orang tua Tini pun akhirnya mau menyekolahkan Tini ke jenjang universitas setelah dibujuk oleh wali kelas Tini yang mendatangi rumahnya.

Tini berhasil masuk ke universitas terkenal di ibukota meski bukan universitas negeri. Teman baru Tini berasal dari seluruh penjuru tanah air Indonesia. Di ibukota, Tini tinggal di rumah kontrakan hasil patungan bersama beberapa teman kuliahnya. Tinggal di ibukota jauh sangat berbeda dibandingkan ketika Tini tinggal di desa. Pusat perbelanjaan dan pusat hiburan sangat banyak, kontras dengan di desanya yang hanya ada empat warung klontongan dan beberapa channel televisi lokal sebagai hiburan utamanya.

Tini ibukota sudah berubah. Gempuran-gempuran informasi dari berbagai penjuru dunia membuat Tini kalap. Mulanya Tini hanya sekedar membaca artikel-artikel tentang seorang aktris idolanya. Segala informasi mengenai aktris idola selalu diperolehnya paling awal. Tini mulai mengikuti gaya berpakaian sang aktris, selanjutnya gaya hidup aktris mulai ditirunya. Singkatnya, Tini mengidolakan aktris secara berlebihan.

Cara berpakaian Tini telah berubah, sekaligus mengubah gaya hidup Tini. Koleksi pakaian Tini cukup lengkap dibandingkan teman-teman sekontrakannya. Kecuali kuliah, kemanapun Tini pergi selalu memakai celana pendek dan kaus ketat semi transparan layaknya sang aktris idolanya. Gaya hidup Tini yang sedemikian boros membuat orang tua Tini kehabisan akal untuk membiayai hidup Tini di ibukota, terlebih lagi Tini menuntut orang tua supaya membelikan kendaraan untuk dirinya.

Keadaan semakin berubah ketika orang tua Tini tak mampu lagi membiayai kebutuhan gaya hidup Tini di ibukota. Tini harus mencari tambahan untuk menunjang gaya hidupnya, kiriman orang tua Tini sekedar cukup untuk makan dan biaya kuliah. Tini mencoba melamar kerja paruh waktu di beberapa perusahaan swasta. Tak satu pun perusahaan nyantol dan mau menerima Tini. Atas desakan teman-temannya, Tini mengubah namanya menjadi Tenny. Nama Tini, Kartini, ataupun Sukartini terlalu kuno dan tidak laku di dunia marketing, begitu menurut teman-temannya. Tenny –nama Sukartini di ibukota– bekerja paruh waktu di sebuah pusat hiburan malam sebagai bartender wanita pertama di kelab malam itu. Bayaran yang diperolehnya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan membayar kuliah.

Tenny akhirnya mengutarakan supaya orang tuanya tidak lagi memberi kiriman untuk dirinya, Tenny sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Orang tua Tenny cukup lega mendengar apa yang diutarakan Tenny, orang tua Tenny tinggal memfokuskan adik Tenny yang sedang mengerjakan skripsi dan hampir lulus kuliah di universitas tak jauh dari tempat tinggal orang tuanya.

Singkat cerita Tenny di ibukota memilih berhenti kuliah tanpa sepengetahuan orang tua. Tenny memilih bekerja full time di pusat hiburan malam, tetap sebagai bartender wanita demi memenuhi gaya hidupnya. Adiknya setelah lulus bekerja di sebuah perusahaan IT multinasional dengan posisi yang cukup mapan sebagai branch manager. Orang tua Tenny di desa masih menunggu Sukartini diwisuda sebagai seorang Ahli Madya.

Tenny meski belum menikah kini hidup berkecukupan di ibukota dengan meninggalkan hutang kepada orang tuanya sendiri, hutang lulus kuliah.


*) Sukartini, Tini, dan Tenny dalam cerita bukan nama sebenarnya.
**) Bila terjadi kesamaan nama dan kejadian di tempat lainnya, niscaya hanyalah sebuah ketidaksengajaan.
***) Gambar ilustrasi diambil dari Flickr-nya DC Master.

Ra Masalah Har!!!

Yogyakarta adalah kota yang pada era 60-an terkenal sebagai kota sepeda. Sejak pertengahan 2009, walikota Yogyakarta pada saat itu, Herry Zudianto telah mengeluarkan kebijakan mengenai Sego Segawe, sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe yang artinya sepeda untuk sekolah dan bekerja. Kebijakan yang dikeluarkan pada saat itu disambut baik dan mendapatkan dukungan masyarakat. Kebetulan pada saat itu masyarakat Yogyakarta memang sedang bersemangat untuk “kembali ke sepeda“. Sepeda memiliki pengaruh positif karena selain lebih hemat, sepeda juga banyak digunakan oleh aktivis pecinta lingkungan menepis isu gombal warming.

Beberapa saat yang lalu, wali kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan surat edaran yang pada intinya adalah tidak berlakunya Sego Segawe dan Car Free Day di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta. Kebijakan ini menuai banyak protes dari aktivis pesepeda dan aktivis lingkungan. Pada tanggal 6 Oktober lalu, aktivis pesepeda melakukan demo di sekitar lingkungan pemerintahan Yogyakarta. Sepeda akan membanjiri Kota Yogyakarta.

ORA MASALAH HAR! TANPAMU SEPEDAKU TETAP MELAJU!