Ibrahim dan Ismail Hidup Tahun 2011

Idul Qurban merupakan hari-hari yang istimewa bagi umat Islam, terlebih yang sudah diberi kesempatan melaksanakan ibadah haji (bukan naik haji). Dalam Idul Qurban tentunya masih tak lepas dari menyembelih hewan Qurban. Biasanya kalau ketemu orang atau tetangga kampung pasti ditanya, “kampungmu nyembelih berapa?”. Selanjutnya muncul rasa “jumowo” kalau di kampungnya nyembelih puluhan sapi dan ratusan kambing. Ada sesuatu yang bisa dibanggakan atas kampungnya.

Mengenai sembelih-sembelihan, tentu tak lepas dari cerita sejarahnya Ibrahim dan Ismail. Ibrahim yang diberi mandat untuk nyembelih Ismail. Untung saja Ismail itu anak yang Sholeh, manut sama bapaknya. Untung lagi karena mereka hidup pada jamannya, bukan jaman sekarang.

Kalau Ismail adalah pemuda jaman sekarang maka tentu saja justru malah mengira bapaknya wis edan. Tak cukup menganggap edan, lantas Ismail lapor ke polisi mengenai rencana penyembelihan atas dirinya. Pasti segera Ibrahim “diamankan”.

Itu cerita kalau Ismail seorang pemuda trendsetter jaman sekarang. Nah kalau Ismail memang bener-bener nurut sama bapaknya, tapi mereka hidup di jaman sekarang pasti beda lagi, meski ujung-ujungnya sama. Ketika Ibrahim sharing ke Ismail mengenai rencana penyembelihan itu maka Ismail manut, “nggih pak kula nderek panjenengan mawon”.

Dalam perjalanan menuju TKP untuk “penyembelihan” mereka kepergok tetangga dan ditanya, “Pak Brahim, mau kemana kok bawa pisau segede itu?”. Ibrahim pun menjawab, “Ini mas Samidi, mau nyembelih Ismail”. Begitu mendengar Ibrahim mau menyembelih Ismail maka mas Samidi langsung membunyikan alarm darurat dan segera tetangga-tetangga mengamankan Ismail dan Ibrahim. Selanjutnya, Ibrahim pun dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Sekalipun Ibrahim sudah bilang kalau rencananya itu beneran disetujui oleh Ismail dan itu sudah perintah dari Allah, tetap saja polisi tidak akan melepaskan Ibrahim karena polisi tidak punya bukti fisik sebagai jaminan bahwa itu perintah Allah.

Sampah

Sampah, sampah dalam arti secara fisik tanpa dimajaskan.

Hari Jumat sore lalu mendadak saya ingin ganti suasana kamar kos. Segera saat itu juga saya mengeluarkan sebagian barang dari dalam kamar. Kamar saya bersihkan, beberapa sudut kamar saya pel, dan barang yang ada di dalam kamar saya tata ulang. Beberapa barang yang terlihat “kumuh” saya sortir. Barang yang saya rasa sudah tidak saya gunakan segera saya pack dan pindahkan ke rak depan kamar. Setelah selesai membersihkan kamar, barang-barang yang tadinya saya keluarkan dan masih saya manfaatkan saya masukkan kembali. Saya tata secara berbeda dari penataan kamar sebelumnya.

Dalam waktu hanya dua minggu ternyata saya sudah mengumpulkan sampah di dalam kamar hampir satu keranjang sampah penuh. Sampah yang saya maksud berupa ballpen yang sudah macet, bungkus obat, sikat gigi rusak, baterai sekarat, plastik kresek, masker anti debu, kabel-kabel, RAM rusak, mainboard rusak, dan beberapa barang “awet” lainnya. Bagi saya itulah sampah sebenarnya, karena barang-barang seperti itu membutuhkan waktu sangat lama untuk bisa terdekomposisi menjadi material yang clean and save for environment (*pura-pura jadi duta lingkungan*)

Ada hampir satu rim kertas yang kemungkinan sudah tidak saya gunakan kembali. Sampah kertas? Bukan, kertas-kertas itu bukan sampah. Saya mengumpulkannya dan saya letakkan ke dalam rak berukuran besar di depan kamar. Berharap suatu ketika ada yang membutuhkan atau bersedia memanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, misal untuk bungkus tempe.

Sudah menjadi kebiasaan di kosku setiap anak yang memiliki kertas bekas atau buku yang dimungkinkan tidak dipakai kembali diletakkan di rak depan kamarku. Tentu saja kebiasaan ini sangat berguna. Setiap kali rak hampir penuh, salah satu diantara anak kos memanggil pembeli kertas kiloan. Kertas-kertas itu kemudaian “disulap” menjadi beberapa receh uang sekedar untuk membeli jagung manis untuk dibakar bareng-bareng di halaman tengah kos.

Terkadang saya melihat isi rak, siapa tahu ada buku atau beberapa lembar kertas yang masih bisa dimanfaatkan. Kata si Data, saya itu open. Open bukan bahasa Inggris yang berarti buka, open yang dimaksud adalah memiliki kebiasaan ngopeni (merawat) barang-barang apa saja yang kemungkinan masih bisa saya manfaatkan. Open ini bukan penyakit lho. Sisi positif dari orang yang open adalah care terhadap apa saja dan siapa saja. Sisi negatifnya, orang open membutuhkan ruang lebih untuk menyimpan barang-barang yang diopeni. Mungkin karena itulah saya tidak menyukai ruangan yang sempit dan selalu memilih kamar kos terluas.

Kepedulian anak-anak kos untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan kos sangat menyenangkan. Lingkungan bersih menimbulkan suasana yang nyaman dan betah saat menempati, terlebih di halaman tengah rumah kos terdapat pohon jambu yang hampir setiap saat berbuah. Selain membuat sejuk halaman tengah, keberadaan pohon jambu ini terasa sekali manfaatnya karena selalu menghasilkan buah yang siapa saja boleh memetik.

Srawung antar anak kos juga terjaga karena di halaman tengah kos terdapat public space untuk ngobrol bareng, nongkrong bareng, atau makan bareng di halaman tengah. Mungkin ini terjadi karena masalah pengelolaan kos (dalam artian perawatan dan urusan kelistrikan) oleh pemilik kos sudah sepenuhnya dipasrahkan ke anak-anak kos. Tentu saja tetap ada kontrol dari pemilik kos untuk urusan kebersihan dan keamanan.

*cerita lain*
Di kampung halaman saya (Magelang) ada sebuah sentra kerajinan di daerah Trunan (sekitar Bukit Tidar) yang membuat tempat sampah dari ban-ban bekas. Tentu saja yang digunakan adalah ban-ban besar semacam ban truk atau ban bus pariwisata. Sentra kerajinan ini selalu kebanjiran order saat menjelang lebaran, tahun ajaran baru, dan saat ada mahasiswa KKN. Salah satu pengrajin yang saya kenal bernama Salman, di dalam kontak HP saya memberi nama “Salman Sampah“. Kok sampah? Karena setiap kali saya mendengar kata sampah yang saya pikirkan adalah tempatnya, bukan sampahnya.