Pendidikan di Desa

Banyak sekolah yang sekarang cenderung membentuk citra eksklusif dengan menutup diri dari akses warga sekitarnya. Hal paling terlihat adalah “jalur” akses bagi para warga terhadap informasi sekolah dikampungnya, bahkan sekolah terkesan sebagai sebuah badan profit yang hanya mengasosiasikan kegiatannya untuk siswa saja, paling jauh kepada wali murid, itu pun biasanya mengenai permintaan “duit”. Tentu ini menjadi sebuah proses yang sepatutnya ditiadakan dalam dunia pendidikan.

Kondisi berbeda terjadi di sebuah kampung kecil, jauh dari keramaian kota. Warga bersama pihak sekolah sama-sama bersinergi untuk memajukan dan merawat sekolah di kampungnya. Citra sebuah perkampungan juga dapat dilihat dari parameter kualitas pendidikan. Tentunya bukan hanya mengenai bagaimana sekolah mampu meluluskan siswanya dengan banyak prestasi istimewa, jauh dari itu sekolah tentunya tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari warga disekitarnya.

Sebuah sekolah di kecamatan Candimulyo (Kab. Magelang) begitu terbuka terhadap akses warga kampung, dalam artian bukan berarti setiap orang bisa seenaknya memanfaatkan fasilitas yang ada di sekolah. Keterbukaan sekolah inilah yang selanjutnya merangsang warga untuk ikut berpartisipasi aktif memajukan sekolah di kampungnya. Keterbukaan informasi yang diberikan sekolah kepada warga ditunjukkan dengan diadakan pertemuan antara warga dengan pihak sekolah setiap tiga bulan, membicarakan proses-proses dan program yang akan dicanangkan oleh sekolah.

Renovasi-renovasi ruang kelas dan fasilitas-fasilitas sekolah pun bisa jadi lebih murah dengan adanya partisipasi warga. Tak heran dengan dana 3 juta yang diberikan pemerintah, sebuah sekolah mampu membuat ruangan baru beserta isi dan berbagai fasilitas didalamnya. Meski tidak mewah dan modern, setidaknya untuk sekolah tingkatan desa sudah lumayan mumpuni. Tentu ini tak lepas dari partisipasi aktif warga yang menyadari pentingnya akses pendidikan bagi generasi berikutnya.

Yogyakarta, 25 Juni 2010

Internet: Sistem Prespektif Jarak dan Waktu

Internet adalah sebuah sistem jaringan yang sangat powerfull dalam menapaki perkembangan teknologi. Dari internet kita tahu teknologi masalalu, teknologi yang sedang dikembangkan umat manusia, sedang dikembangkan manusia, bahkan yang akan dikembangkan oleh manusia.

Beberapa bulan lalu sempat beredar kabar mengenai iPad generasi 4 (gadget masadepan) yang waktu itu masih dalam proses pengembangan, informasi ini sangat mudah kita dapat dari internet. Hari ini kita bisa melihat teknologi pada jaman Mesir kuno, kita tinggal melihat di internet. Hari ini kita bisa mengetahui ada gempa di belahan bumi manapun melalui website USGS realtime, bisa diakses lewat internet.

Inilah internet yang tidak mengenal prespektif waktu. Internet tak membatasi waktu jaman dahulu, sekarang, dan yang akan datang. Internet menampung semua masalalu, masakini, dan masadepan. Selanjutnya adalah tergantung pengguna mau berada pada posisi masadepan, masakini, atau masalalu. Internet menghilangkan batas dimensi waktu, melalui sistem jaringan yang disuguhkannya.

Beberapa bulan lalu kita dikejutkan dengan penemuan situs candi di kompleks kampus UII Yogyakarta, dengan internet kita tak perlu ke Yogyakarta untuk melihat kondisinya. Saat ini, tengah terjadi conference call antara Moscow dan Paris, semua dengan koneksi internet. Baru saja ada pemblokiran kartu ATM dari bank pusat ke seluruh jaringan ATM di Indonesia, dilakukan melalui internet.

Internet tak mengenal prespektif jarak. Internet menempatkan posisi manapun di seluruh dunia dalam sebuah sistem tanpa dimensi ruang. Selanjutnya adalah bagaimana pengguna memanfaatkan terhapuskannya sistem jarak dengan internet. Internet menghilangkan batas ruang, melalui sistem jaringan yang disediakan.

SOLO – Sharing Online Lan Offline adalah salah satu hasil pemanfaatan internet. Melalui internet, bengawan menyebarkan informasi berita maupun undangan, menggaet XL Axiata. Hasilnya Blogger Indonesia yang semula hanya ketemu secara online pun bisa ketemu secara offline, kopi darat di kota Solo. Dalam hal ini, internet telah mendekatkan yang jauh.

Pernahkah anda membayangkan menjadi maniak internet? Hampir seharian penuh memandang gadget untuk online. Lupa kalau punya tetangga, lupa kalau punya orang lain didekatnya, mungkin lupa kalau punya anak-istri di rumahnya. Internet membuat orang lupa untuk berkehidupan sosial di dunia nyata. Begitulah internet telah menjauhkan yang dekat.

Begitulah internet selalu punya sisi positif dan negatif. Internet bisa mendekatkan yang jauh, internet bisa menjauhkan yang dekat. Sangat diharapkan internet mendekatkan yang jauh dan semakin memesrakan yang dekat.

Becak Solo (2)

Menjelang malam sembari menunggu perjalanan kembali ke tempat nginep, saya bersama beberapa kawan blogger menyempatkan diri berfoto di patung Slamet Riyadi dan air mancur dibelakangnya.

Puas mengabadikan gambar, balablogger pun kembali menuju depan Graha Solo Raya. Seperti kejadian sore hari, masih saja saya bertemu dengan tukang becak tetapi saya pekewuh untuk bertanya mengenai identitasnya.

Pertemuan saya dengan tukang becak kali ini tidak membicarakan mengenai internet lagi, tetapi membicarakan bentuk becak Solo yang berbeda dengan Becak di Magelang dan Yogyakarta.

Becak di Solo Raya ukurannya lebih kecil dan bentuknya pun ramping. Becak di Magelang-Yogyakarta cenderung berukuran besar dan kembung.

Bapak tukang becak yang ini tidak tahu mengenai sejarahnya, mengenai siapa mbahnya becak, siapa yang membawa becak ke Solo, mengenai kenapa becaknya ramping. Bapak tukang becak yang ini lebih berpikir logis dengan menjabarkan secara fisik becak Solo lebih ringan karena lebih kecil dan ramping.

Tentu kalau ditelusur lebih dalam mengenai asal mula becak Solo ini akan menjadi bumbu cerita Solo. Meski tidak akan menjadi cerita utama mengenai solo, tetapi cukup mewarnai sejarah Solo Raya. Tapi siapa yang mau menelusuri ceritanya? Kawan bengawan ada yang bersedia?

Becak Solo (1)

Menjadi tukang becak adalah sebuah pilihan yang terpaksa harus diambil oleh Pak Narno. Pak Narno dahulu ingin hidup layaknya eksekutif yang tinggal duduk di kursi kantor, tandatangan, dan setiap bulan dapat gaji besar. Tapi apa daya, Pak Narno hanyalah lulusan SMP duapuluh tahun lalu.

Ditengah riuh renyah para peserta SOLO – Sharing Online Lan Offline yang baru saja keluar dari Graha Solo Raya ini saya mencoba mencari sisi lain dari kehidupan kota Solo. SOLO adalah acara Jambore Blogger yang salah satu sponsor-nya adalah XL Dipertemukanlah saya dengan kejadian unik yang akhirnya saya abadikan melalui digital kamera yang memang saya siapkan sedari keberangkatan ke Solo.

Tukang becak yang setelah saya sedikit berbincang diketahui bernama Pak Narno ini sedikit unik. Pak Narno menjadi tukang becak untuk menghidupi keluarganya, seorang istri dan seorang anak yang masih sekolah SD. Dengan berbagai usaha untuk menyisihkan hasil mbecak, Pak Narno mampu membeli sebuah HP Motorolla yang kalau tidak salah sepengetahuan saya adalah HP kelas musik.

Berbincang mengenai internet setelah Pak Narno bertanya mengenai acara yang baru saja berlangsung di Graha Solo Raya, pak Narno ternyata bukanlah tipe orang yang tidak tahu sama sekali mengenai internet. Bahkan pak Narno ini punya facebook. Tetapi mengenai blog, Pak Narno masih melihat sebagaimana pernah diungkapkan oleh Roy Suryo, blogger adalah hacker. Susah juga menjelaskan mengenai hal ini.

Sayang sekali perbincangan tidak berlangsung lama, Pak Narno mendapat order mengantar dua orang turis ke Solo Grand Mall, lumayan jauh menurut saya.

Setelah perbincangan dengan Pak Narno ini, sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya berangan-angan. Bagaimana seandainya tukang becak semacam Pak Narno ini bekerja layaknya sopir taksi, memanfaatkan HP yang dia miliki untuk “antar-jemput” penumpang. Penumpang tinggal SMS/Telepon Pak Narno, selanjutnya Pak Narno datang dan mengantarkan si penumpang. Bukankah itu salah satu bentuk memanfaatkan teknologi.

Saya tidak berani membayangkan Pak Narno punya blackberry, saya khawatir pak Narno kepingin HPnya Agnes Monica (blackberry –red) karena disepanjang jalan Slamet Riyadi sering melihat Agnes Monica pegang HP canggih itu. Yang lebih khawatir lagi kalau Pak Narno tidak mampu menghidupi keluarganya karena setiap bulan harus membayar nominal tertentu untuk blackberry. Toh dari segi kemanfaatan blackberry untuk Pak Narno, tentunya tidak akan terlalu banyak. Kecuali Pak Narno adalah seorang eksekutif, seperti yang diinginkan dahulu kala.

Kota Kedua, Yogyakarta

Yogyakarta merupakan tempat singgah saya yang kedua. Sedang tempat pertamaku adalah kelahiranku, Magelang. Meski bersebelahan dan bertetangga, Yogyakarta dan Magelang memiliki dinamika dan citarasa yang berbeda. Yogyakarta masih sedikit ada rasa tatanan kerajaan meski sekarang sudah mulai pudar.

Di Yogyakarta saya bisa dengan mudah menemukan ruang publik (public space) yang bebas dipakai siapa saja untuk berinteraksi tanpa harus bayar mahal. Di Magelang memang ada public space, tapi ya dengan fasilitas seadanya dan sangat sedikit bisa ditemukan. Mungkin ini yang setidaknya bisa kita buat kesimpulan kenapa Yogyakarta bisa lebih semarak dibandingkan Magelang. Satu masukan untuk para pengembang tata kota di Magelang untuk perlunya memperhatikan public space ini.

Seingatku, aku menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta adalah saat bulik wisuda di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), umurku masih 4 tahun. Kedua adalah mengantar kakakku menuju kost pertama-nya di daerah Pogung Kidul, kakakku masuk UGM saat aku masih SMP. Sayang sekali aku tak dapat menghadiri upacara wisuda kakakku 5 tahun kemudian.

Sekarang aku merasakan langsung kehidupan Yogyakarta. Aku masuk UGM tahun 2007 lalu, dan hingga saat ini aku masih di Yogyakarta. Yogyakarta adalah permulaan aku tinggal jauh dari orang tua, harus mandiri dalam hal kebutuhan sehari-hari, meski tidak secara finansial. Secara finansial tanganku masih dibawah, dihidupi oleh orangtuaku.

Pertama kali tinggal di Yogyakarta ada semacam culture shock meski masih dapat kukendalikan. Dinamika keseharian di Yogyakarta sedikit lebih cepat dari Magelang. Meski dalam angan saya, Yogyakarta masih tidak secepat Semarang atau bahkan Jakarta. Kalau di Magelang orang mengatakan “rasah kesusu” (jangan buru-buru, ID) di Yogyakarta orang bilang “santai wae dab” (santai aja, ID). Meski kira-kira bermakna sama, tapi dalam hal rasa “santai wae dab” tetap terasa masih harus agak cepat.

Awalnya tidak begitu mengenal kehidupan masyarakat Yogyakarta, karena memang aku ke Yogyakarta untuk studi. Hampir tiga bulan aku tidak begitu memperhatikan tatanan kehidupan di Yogyakarta. Tapi seiring waktu sedikit-sedikit aku mulai mengikuti kehidupan kampung, dan kehidupan kost di Yogyakarta. Hingga saat ini pun aku belum begitu mengenal tatanan kemasyarakatan di Yogyakarta kecuali hanya tatanan interaksi di kost. Itu pun sebatas sesama mahasiswa yang kebanyakan malah dari luar Yogyakarta.

Sesekali memang bisa ngangkring di depan kost, berbicara dengan warga di sekitar kost meski tak bisa secara intens. Sesekali pula bersama dengan warga kampung dan teman-teman kost ikut bersih-bersih kampung menjelang Agustusan. Tiga tahun sudah berlalu, masih tetap dengan statement sama bahwa Yogyakarta masih banyak menyimpan misteri yang ingin ku ungkap.

Yogyakarta memang bukan tempatku menetap, tapi adalah tempat singgah yang nyaman dan suatu saat nanti ketika tidak di Yogyakarta aku ingin merasakan kembali kehidupan Yogyakarta. Suatu saat nanti aku pasti kan kembali ke tempat ini.

Yogyakarta, 18 Juni 2010