Banyak sekolah yang sekarang cenderung membentuk citra eksklusif dengan menutup diri dari akses warga sekitarnya. Hal paling terlihat adalah “jalur” akses bagi para warga terhadap informasi sekolah dikampungnya, bahkan sekolah terkesan sebagai sebuah badan profit yang hanya mengasosiasikan kegiatannya untuk siswa saja, paling jauh kepada wali murid, itu pun biasanya mengenai permintaan “duit”. Tentu ini menjadi sebuah proses yang sepatutnya ditiadakan dalam dunia pendidikan.
Kondisi berbeda terjadi di sebuah kampung kecil, jauh dari keramaian kota. Warga bersama pihak sekolah sama-sama bersinergi untuk memajukan dan merawat sekolah di kampungnya. Citra sebuah perkampungan juga dapat dilihat dari parameter kualitas pendidikan. Tentunya bukan hanya mengenai bagaimana sekolah mampu meluluskan siswanya dengan banyak prestasi istimewa, jauh dari itu sekolah tentunya tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari warga disekitarnya.
Sebuah sekolah di kecamatan Candimulyo (Kab. Magelang) begitu terbuka terhadap akses warga kampung, dalam artian bukan berarti setiap orang bisa seenaknya memanfaatkan fasilitas yang ada di sekolah. Keterbukaan sekolah inilah yang selanjutnya merangsang warga untuk ikut berpartisipasi aktif memajukan sekolah di kampungnya. Keterbukaan informasi yang diberikan sekolah kepada warga ditunjukkan dengan diadakan pertemuan antara warga dengan pihak sekolah setiap tiga bulan, membicarakan proses-proses dan program yang akan dicanangkan oleh sekolah.
Renovasi-renovasi ruang kelas dan fasilitas-fasilitas sekolah pun bisa jadi lebih murah dengan adanya partisipasi warga. Tak heran dengan dana 3 juta yang diberikan pemerintah, sebuah sekolah mampu membuat ruangan baru beserta isi dan berbagai fasilitas didalamnya. Meski tidak mewah dan modern, setidaknya untuk sekolah tingkatan desa sudah lumayan mumpuni. Tentu ini tak lepas dari partisipasi aktif warga yang menyadari pentingnya akses pendidikan bagi generasi berikutnya.
Yogyakarta, 25 Juni 2010