Ideal-Ideal Universiti

Tak terasa tiga tahun berlalu, semester keenam tengah berlangsung, ngagsu kawruh di Yogyakarta. Awalnya bagi saya itu suatu kebanggaan bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit Indonesia (katanya). Untunglah saya kembali ke dalam kesadaran saya, ternyata parameter terbaik sebagai standar penilaian sebuah perguruan tinggi itu tidak sama dengan idealisme saya sewaktu sekolah dulu. jauh, bahkan teramat jauh. Standar perguruan tinggi terbaik ternyata hanya sebatas langit tingkat satu, tak seperti bayangan saya yang ada di langit tingkat seratus.

Yogyakarta, tempat tak jauh dari kota kelahiranku, Magelang. Kata teman saya dari Bandung, Yogyakarta adalah tempat paling nyaman untuk tinggal sementara sebagai mahasiswa. Strata sosial tak menjadi parameter utama dalam bergaul diantara sesama. Lifestyle bukan sesuatu yang penting, tak lebih penting dari mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hati untuk merasa. Yogyakarta beserta ubarampe-nya adalah sebuah instrumentasi pas untuk membentuk citarasa lingkungan akademis ideal, ah itu anggapan saya yang sementara tinggal di Jogja. Yogyakarta memenuhi parameter ideal mahasiswa yang saya buat.

Di Yogyakarta memang cukup banyak perguruan tinggi favorit. Dalam pandangan seorang teman yang pernah ndobos, katanya kalau di Jogja mau ambil Bahasa Inggris itu di Universitas Sanata Dharma, Ekonomi di Universitas Islam Indonesia, MIPA di Universitas Gadjah Mada, Pertambangan di UPN Veteran, Komputer di AMIKOM. Ah itu kan idealisme orang lain. Saya sih hanya mbanyumili, mengikuti arus pandangan saya pribadi dan menyesuaikan kondisi, ndak peduli kalau yang baru “katanya, katanya, dan katanya”.

Memilih universitas juga gampang-gampang susah. Orang masuk universitas tertentu bisa jadi karena ketenaran-keterkenalan sebuah universitas bisa jadi juga ketersesuaian universitas terhadap idealisme calon mahasiswa. Dan sebuah jalan pintas yang sederhana kalau universitas berusaha mencari ide masukan demi merumuskan idealitas perguruan tinggi, seperti yang dilakukan UII dengan Lomba Blog UII.

Membicarakan masalah idealisme itu sederhana, setiap orang memiliki idealisme berbeda, mata boleh sama tapi rasa pasti beda. Kalau idealisme saya, ya mbanyumili itu tadi. Ya kalau toh nanti ternyata tidak sama dengan teman-teman yang baru mau masuk kuliah dan sudah punya pandangan dalam mendefinisikan perguruan tinggi idaman, nikmati saja wong perbedaan itu indah kok.

Dengan prinsip mbanyumili itu lebih melihat kepada case study. Perguruan tinggi ideal itu jadi gampang, anaknya pakdhe saya kuliah karena pengen jadi sarjana, itu salah kalau mau jadi sarjana kok kuliah. Ya tinggal siapkan jenang abang anaknya diganti nama jadi Sarjana, ndak perlu kuliah sudah jadi Sarjana. Tapi dalam idealisme saya, perguruan tinggi itu tidak sebagai fungsi pencetak sarjana.

Kuliah biar bisa disebut mahasiswa itu salah, kakek saya selepas subuh ikut kuliah di masjid juga tidak lantas disebut mahasiswa. Idealisme saya tentang perguruan tinggi itu tidak hanya menyelenggarakan kuliah bagi mahasiswa tapi juga harus mengembangkan integritas sosial para mahasiswa. Bagaimanapun caranya sebisa mungkin nanti lulusannya bisa diintegrasikan dalam pola-pola tatanan sosial yang ada.

Nyatus, Mendak, Nyewu

Di berbagai media diberitakan mengenai 100 hari pemerintahan pak SBY. Di berbagai tempat diberitakan mengenai demonstrasi mengkritisi 100 hari pemerintahan SBY. Ada apa dengan 100 hari? Kenapa dipilih angka 100?

Saya jadi ingat di desa dulu (dan sampai sekarang masih berlangsung) ada istilah Nelung Dina, Mitung Dina, Matangpuluh, Nyatus, Nyewu, Mendak. Dan sepanjang pengalaman saya, itu hanya diterapkan pada orang yang meninggal, berupa prosesi-prosesi membacakan Yasin dan Tahlil beserta bancaan/genduren.

Nelung Dina adalah rangkaian acara yang dilaksanakan pada malam ketiga setelah orang meninggal. Biasanya adalah acara Yasinan (dan tahlilan) di kuburan, yasinan di rumah orang yang meninggal, dan gendurenan.

Mitung Dina adalah acara dilaksanakan malam ketujuh. Dianggap sebagai acara khatam-nya Yasinan di kuburan, jadi dari hari hari pertama hingga hari ketujuh warga sekitar rumah yang ditinggalkan ngaji (yasinan dan tahlilan) di kuburan. Sama, disini ada gendurenan juga.

Matangpuluh dilaksanakan di rumah duka pas malam ke empatpuluh. Selain gendurenan juga tetangga-tetangga yang diundang untuk yasinan dan tahlilan dipersilahkan untuk makan makanan yang sudah dipersiapkan pemilik rumah (makan besar).

Selanjutnya Nyatus, Nyewu, Mendak prosesinya hampir sama dengan Matangpuluh. Nyatus dilaksanakan pada malam ke seratus, Nyewu dilaksanakan malam ke seribu, sedangkan Mendak dilaksanakan setiap satu tahun satu kali, dihitung menggunakan kalender Jawa (petungan jowo). Mendak ini biasanya dilaksanakan hingga tahun ketujuh. Sehingga biasanya secara urut disebut mendak pisan, mendak pindo, mendak katelu, mendak papat, mendak limo, mendak nem, dan terakhir mendak pitu.

Apa hubungannya prosesi ini dengan pemerintah SBY sehingga di pemerintahannya SBY pun ada istilah nyatus (seratus hari kepemimpinan SBY)? Ada sesuatu yang mati pas pelantikan presiden SBY? Ah cari jawabannya sendiri-sendiri saja lah.

* judul kali ini tidak mencerminkan isi.

Bandwidth Akhir Bulan

Jelang akhir bulan begini biasanya saya sedikit menyibukkan diri dengan masalah server web. Bukan karena kehabisan bandwidth tetapi karena rasa penasaran saya terhadap penggunaan bandwidth server. Dengan hanya melihat bandwidth usage dari hosting saja saya dapat memperkirakan jumlah pengunjung web bertambah atau berkurang setiap bulannya.

Saya jadi penasaran, sebenarnya seperti apa sih bandwidth web blog saya sendiri? Masuk ke control panel sedikit kaget juga kalau ternyata bandwidth yang telah saya gunakan bulan ini hampir mencapai 2500MB, bagi web yang banyak pengunjung pasti bandwidth segitu biasa-biasa saja. Tapi untuk blog saya yang amat sangat sepi tentunya mengejutkan. Ah sebenernya apa sih yang bisa buat bandwidth saya sampai segini.

Jumlah pengunjung adalah penentu seberapa besar pemakaian bandwidth, selain itu ada hal penting yang perlu diperhatikan tetapi kadang luput dari perhitungan, ukuran halaman web. Kalau dihitung, sederhananya bandwidth usage sebanding dengan jumlah dari hasil kali antara jumlah pengunjung dengan halaman yang dibuka.

Misal dalam web kita memiliki 4 halaman web, untuk halaman pertama berukuran 30kb dengan pengunjung dalam satu bulan sebanyak 2348 orang. Halaman kedua berukuran 24kb dengan pengunjung 1800 orang. Halaman ketiga berukuran 16kb dengan pengunjung 1768 orang. Halaman keempat berukuran 12kb dengan pengunjung 1500 orang.

Secara matematis kita dapat menghitung bandwidth usage kita adalah (30kb*23480)+(24kb*18000)+(16kb*17680)+12kb*15000). Atau misal kita anggap semua halaman web kita berukuran sama sebesar 36kb dengan jumlah pengunjung secara keseluruhan sebanyak 30000 dalam satu bulan, kita dapat menghitung penggunaan bandwidth usage kita sebesar (36kb*30000). Tentu selain kedua parameter tersebut masih ada parameter lainnya yang mempengaruhi bandwidth usage kita semisal transfer file, download file, mail transfer, dan beberapa hyperlink dari halaman web lain semisal ada web lain yang menggunakan gambar, video, music streaming dari file-file yang tersimpan dalam host kita.

Tentunya masalah bandwidth ini tidak masalah bagi saya karena bandwidth saya unlimited dengan transfer rate 1000Mbps shared yang kalau dihitung dalam MB/s sekitar 134,22MB/s (shared). Sedangkan untuk disk space saya rasa ini pun sementara tidak masalah bagi saya sebab hingga saat ini masih tersisa disk space sebesar 679GB di harddisk server saya.