Dahulu kala ketika terdengar kata wayangan yang terlintas adalah semalam suntuk. Seiring perkembangan zaman, metode penyajian wayang ikut berkembang. Tak perlu semalam suntuk untuk menyelesaikan satu babak cerita karena skenario sudah diatur sebelum pertunjukan. Teknologi LCD makin menyemarakkan sajian cerita pewayangan sebagai backdrop dan pembentukan citra latar. Alunan suara gending pengiring cerita dan sinden bisa digantikan dengan recorder yang tinggal di-play.
Dari segi cerita, pewayangan modern tak hanya berkutat dari cerita-cerita Mahabharata atau Ramayana yang sedikit membosankan walau sebenarnya sarat dengan petuah, kawruh, dan pedoman hidup. Cerita-cerita pewayangan makin realistis menyentuh kehidupan modern yang plural. Pagelaran wayang dijadikan sebagai bentuk kritik politik, kritik sosial, juga untuk membentuk citra publik.
Dalam hal penyajian, dhalang makin menyesuaikan tema dan audience penikmat wayang. Dengan begitu pagelaran wayang akan tetap diminati dan selalu menarik untuk diikuti. Akan menjadi aneh jika audience-nya kawula muda tetapi yang diceritakan lelakon pandhawa versus bala kurawa. Dari segi bahasa, pagelaran wayang tak harus saklek menggunakan Basa Jawa sebab penikmat pagelaran wayang tak hanya masyarakat Jawa.
Perkembangan menuju wayang modern tak lepas dari awal mula istilah wayang dikenal di tanah Jawa Dwipa. Pada mulanya wayang digunakan sebagai media memanggil roh dalam upacara-upacara adat masyarakat Jawa. Masuknya Hindu ke Jawa mengubah genre wayang ke arah cerita-cerita dari kitab karangan panggedhe dan seniman Hindu di Jawa dan India. Setelah masuknya Islam ke Jawa, wayang mulai digunakan sebagai media penyebaran agama dan penyebaran pakerti luhur yang digagas oleh Sunan Kalijaga. Pasca Indonesia merdeka, pagelaran wayang makin berkembang hingga menjadi seperti wayang sekarang.
Mungkin suatu saat nanti akan muncul wayang digital melengkapi wayang wong, wayang golek, wayang kulit, dan wayang suket. Dalam sebuah pagelaran wayang, dhalang tak perlu polah bersandiwara langsung di depan penonton. Dhalang hanya duduk menghadapi multimedia system untuk menyutradarai dan mengisi dubbing pagelaran.
Tak tepat jika kita membentuk citra dan klaim bahwa wayang nyaris goyah dilamun zaman sebagaimana diulas Balairung Koran (Balkon) dalam Edisi Khusus 2009-nya. Justru wayang mengalami perkembangan pesat dalam menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari budaya bangsa. Bandingkan dengan perkembangan campursari yang dulunya serba alat tiup dan alat pukul, sekarang serba elektrik.
*Tulisan iki kanggo priyayi sing kerep ngomong aku ndhalang nek posting ing blog. Sesuk gawe wayang blog. Nulis artikel dhewe, komentar dhewe, bales dhewe.